Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika yang Kaya Makin Kaya yang Miskin Makin Miskin

21 Oktober 2024   01:46 Diperbarui: 21 Oktober 2024   03:37 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah gemuruh perekonomian yang tampaknya tak terpengaruh oleh pandemi, satu kenyataan pahit semakin jelas di hadapan kita: jurang kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin semakin melebar. 

Dalam era digital yang serba cepat ini, kekayaan terkonsentrasi pada sekelompok kecil individu, sementara jutaan orang lainnya terjebak dalam siklus kemiskinan yang berkepanjangan. Pertanyaannya, mengapa fenomena ini terus berlanjut dan bagaimana kita bisa memecahkan masalah yang tampak rumit ini?

Mari kita lihat fakta-fakta yang ada. Menurut laporan Oxfam terbaru, jumlah miliarder di dunia terus meningkat meskipun terjadi krisis ekonomi global. Di sisi lain, jutaan orang kehilangan pekerjaan, berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. 

Laporan tersebut menunjukkan bahwa kekayaan miliarder meningkat secara signifikan, sementara pendapatan pekerja yang berada di kelas bawah stagnan. Ini bukan sekadar angka; ini adalah cermin dari ketidakadilan sosial yang mengakar dalam struktur ekonomi kita.

Fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru. Sejak Revolusi Industri, kekayaan telah terakumulasi pada tangan segelintir orang. Namun, apa yang kita lihat saat ini adalah percepatan yang luar biasa. Teknologi, yang seharusnya menjadi alat untuk pemberdayaan, malah memperkuat kekuasaan orang kaya. 

Platform digital, algoritma, dan akses ke modal semakin memudahkan mereka yang sudah memiliki untuk mengakumulasi lebih banyak kekayaan. Dalam banyak hal, ini menciptakan "sistem permainan" di mana yang sudah memiliki keuntungan justru semakin diuntungkan.

Dalam konteks Indonesia, kita dapat melihat dampak ini secara jelas. Masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan besar sering kali memiliki akses lebih baik ke pendidikan, teknologi, dan peluang kerja. 

Sementara itu, mereka yang tinggal di daerah terpencil atau pedesaan terpaksa berjuang untuk bertahan hidup, terputus dari sumber daya dan peluang yang ada. Di sinilah kita mulai melihat benang merah dari kesenjangan ini; akses yang tidak merata terhadap sumber daya dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Apa yang lebih menyedihkan adalah kenyataan bahwa anak-anak yang lahir dalam keluarga miskin sering kali terjebak dalam siklus kemiskinan yang sulit diputus. Tanpa akses ke pendidikan yang layak, mereka tidak memiliki peluang untuk meningkatkan taraf hidup mereka. 

Dalam banyak kasus, mereka terpaksa bekerja sejak usia dini untuk membantu keluarga, sehingga impian mereka untuk bersekolah hancur. Ini menciptakan generasi yang terpinggirkan, terisolasi dari harapan dan peluang.

Namun, meskipun situasi ini tampak suram, ada harapan. Di tengah kesulitan, kita melihat munculnya berbagai inisiatif sosial yang berusaha menjembatani kesenjangan ini. Komunitas mulai berkumpul untuk saling mendukung dan memberdayakan satu sama lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun