Rijal, yang mulai sedikit terganggu dengan parodi teman-temannya, kembali mencoba mempertahankan argumen. "Ya, tapi mungkin juga beliau benar-benar ingin hidup tenang. Setelah bertahun-tahun dihujat, dikritik, mungkin beliau cuma ingin menyepi, bertani, atau memancing di sungai."
Kahar tersenyum sinis. "Menyepi? Bertani? Dengan belasan pengawal yang siap setiap saat, dengan akses langsung ke apa pun yang dia mau? Kalau bertani, paling juga dia cuma liat sawah dari jauh, terus ada orang lain yang kerja di situ buat dia."
Kobar menambahkan, "Dan kalau soal memancing, mungkin dia bakal undang pejabat daerah buat ikutan, terus di Instagram rame-rame bilang, 'Kami menikmati kehidupan desa yang sederhana.' Padahal, habis mancing langsung makan steak di rumahnya yang ada AC-nya."
Badu tertawa keras sampai hampir tersedak gorengan. "Iya, sederhana! Sederhana ala elite!"
Rijal menggelengkan kepala, menyerah mencoba berpikir positif di tengah-tengah tawa teman-temannya. "Ya sudahlah, kalian memang suka cari sisi negatif. Lagipula, mungkin kita harus belajar dari presiden lama. Siapa tahu dia benar-benar ingin hidup sederhana setelah bertahun-tahun jadi orang nomor satu."
Kobar, masih tertawa, menjawab, "Belajar apa? Belajar jadi pensiunan yang diundang ke acara-acara kenegaraan? Nanti tiap kali ada krisis nasional, dia dipanggil lagi buat ngasih 'nasihat bijak,' yang ujung-ujungnya cuma bilang, 'Sabar ya, rakyat. Saya dulu juga pernah sulit, kok.'"
Badu menepuk-nepuk meja. "Nasihat bijak buat siapa? Buat orang-orang yang nggak pernah punya akses ke segala kemudahan kayak dia? Ah, Rijal, kamu ini terlalu baik hati. Presiden lama pulang kampung itu cuma cara baru buat tetap tampil di panggung, tapi dengan gaya lebih halus."
Kahar menutup obrolan dengan senyuman tipis. "Jadi, apa yang kita pelajari hari ini? Bahwa presiden lama pulang kampung, tapi kampung yang dia pulangi bukan kampung kita. Itu kampung versi dunia lain, di mana rakyat cuma bisa ngeliatin dari jauh sambil bertanya-tanya, 'Kok hidup pensiunan presiden lebih enak daripada hidup kita yang masih kerja keras tiap hari?'"
Mereka tertawa lagi, kali ini tawa yang lebih getir, diiringi dengan seruputan kopi pahit. Di luar, dunia politik terus berjalan, sementara mereka hanya bisa menonton dari balik meja kopi, sambil menunggu siapa lagi yang akan "pulang kampung" berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H