Di sebuah desa kecil yang tenang, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal sering berkumpul di warung kopi sambil membahas isu-isu terkini. Suatu malam, mereka memutuskan untuk berbincang tentang karakter masyarakat yang 'profit oriented', yang tampaknya semakin menguat.
Kobar, yang selalu punya pendapat, memulai. "Teman-teman, kalian perhatikan tidak? Banyak orang sekarang yang lebih mementingkan keuntungan daripada hubungan. Contohnya, di desa kita ini, banyak yang berbisnis tanpa memikirkan dampaknya pada tetangga."
Kahar mengangguk. "Iya, Kob! Lihat saja si Anton. Dia buka warung dengan harga murah, tapi setelah beberapa bulan, dia naikkan harga dua kali lipat. Tanpa pikir panjang, dia hanya mau untung!"
Badu, si pelawak, menimpali dengan canda. "Ah, Anton itu tipikal kapitalis desa! Satu-satunya yang lebih pelit dari dia adalah menu makanannya! Yang ada, semua harga melonjak, sedangkan rasa... ya, standar! Kapan lagi kita bisa dapat makanan enak, kalau yang dijual hanya profit?"
Rijal yang biasanya pendiam, akhirnya berkomentar. "Tapi ini bukan hanya masalah makanan. Di dunia pendidikan juga sama. Sekolah-sekolah mulai memungut biaya tinggi hanya untuk mengejar keuntungan. Mereka lupa bahwa pendidikan seharusnya untuk memajukan masyarakat."
Kobar menambahkan, "Betul! Bahkan banyak orang tua yang rela membayar mahal demi anak-anak mereka dapat sekolah bagus, tetapi anak-anaknya justru tidak mendapatkan pembelajaran yang berkualitas. Yang penting, sekolah tersebut memiliki gedung megah dan alat-alat canggih!"
Kahar tertawa. "Iya, dan saat orang-orang melihat iklan di media sosial, mereka langsung terpengaruh. 'Daftar sekarang! Bawa pulang keuntungan besar!' Hanya untuk melihat kursus online yang lebih mirip seminar ketimbang pendidikan!"
Badu kembali melontarkan lelucon. "Ayo kita buat seminar bertema 'Menjadi Profiter Sejati: Cara Mudah Memperoleh Uang dengan Mengorbankan Moral'! Kita bisa ajak Anton jadi pembicara utama!"
Rijal menggeleng sambil tersenyum. "Tapi kita harus ingat, dalam mengejar keuntungan, kita harus tetap menjaga integritas. Kita harus berbisnis dengan cara yang etis. Kebaikan dan kepercayaan lebih berharga daripada sekadar keuntungan."
Kobar mengangguk setuju. "Betul, Rijal. Dan kita bisa menjadi contoh di desa ini. Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai persahabatan dan saling mendukung, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih baik. Jika kita semua saling membantu, siapa yang butuh mencari keuntungan dengan cara yang merugikan orang lain?"
Kahar melanjutkan, "Mari kita lakukan sesuatu yang konkret! Misalnya, kita bisa adakan bazar amal. Di sana, semua pedagang berkontribusi tanpa mengharapkan keuntungan besar. Uang yang terkumpul bisa digunakan untuk membantu anak-anak kurang mampu!"
Badu bersemangat. "Lalu kita bisa memasang spanduk: 'Profit Bukan Segalanya, Persahabatan Lebih Berharga!'"
Dengan semangat baru, keempat sahabat itu merencanakan bazar amal mereka. Mereka menyadari bahwa keuntungan tidak selalu harus diperoleh dengan cara yang merugikan orang lain.
Malam itu, sambil menyeruput kopi, mereka bertekad untuk mengubah cara pandang masyarakat sekitar. Mereka ingin menunjukkan bahwa dengan bersikap etis dan saling mendukung, keuntungan yang dihasilkan akan menjadi lebih bermakna dan berkelanjutan.
Akhirnya, mereka pulang dengan tekad untuk menanamkan nilai-nilai baik dalam berbisnis dan berhubungan sosial. Mereka ingin membuktikan bahwa meskipun keuntungan itu penting, persahabatan dan integritas adalah harta yang jauh lebih berharga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H