Malam itu, di pos ronda kampung, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal kembali berkumpul. Seperti biasa, mereka membahas segala hal, mulai dari isu lokal sampai hal-hal sepele. Namun, malam ini ada yang berbeda: mereka sedang terjebak dalam diskusi serius tentang filosofi hidup "lambat asal selamat."
"Jadi begini, kawan-kawan," ujar Kobar yang selalu merasa paling bijak, "Kita ini sering terjebak dalam hiruk-pikuk modernitas. Semua orang berlomba, lari secepat mungkin untuk sukses. Padahal, kita bisa lambat asal selamat. Apa gunanya cepat tapi berantakan?"
Kahar yang terkenal dengan kesabarannya mengangguk setuju. "Betul, Kob. Aku setuju. Lihatlah orang-orang di jalan raya, semua ngebut kayak dikejar setan. Padahal, yang sampai duluan cuma rasa stres. Mereka nggak sadar bahwa hidup itu seperti ronda. Pelan-pelan aja, yang penting sampai."
Badu, yang biasanya cuek, malah terpingkal mendengar filosofi ronda itu. "Hahaha, kamu ini ngomongnya kayak yang hidup selalu santai, Har. Aku lihat kamu aja sering telat kalau diminta bantuin orang. Jadi memang cocoklah kamu sama filosofi 'lambat asal selamat'."
Rijal, yang selalu jadi suara kebijaksanaan di antara mereka, menggeleng-geleng sambil tersenyum. "Tapi nggak bisa juga begitu, Badu. Kalau semuanya lambat, kapan kita maju? Orang-orang kita ini suka lambat asal nggak ada yang menuntut. Kerja santai, pelayanan publik lambat, bahkan bikin jalan aja molor bertahun-tahun. Itu bukan lambat asal selamat, itu lambat asal nggak dikejar target."
Kobar cepat-cepat menyahut, "Nah, itulah masalahnya, Jal. Orang salah kaprah sama filosofi lambat ini. Seharusnya lambat itu bukan berarti malas. Lambat itu berarti kita hati-hati, penuh perhitungan, dan nggak tergesa-gesa. Misalnya, lihat saja proyek jembatan di kampung sebelah. Cepat selesai, tapi ambruk waktu hujan pertama datang. Kalau lambat asal selamat, mereka mungkin bisa buat jembatan yang awet!"
Kahar menambahkan, "Benar, aku lebih suka pekerja yang lambat tapi rapi, daripada yang cepat tapi banyak cacatnya. Kadang kesalahan besar terjadi karena terlalu cepat."
Badu, yang selalu merasa ingin jadi "lawyer" dalam setiap percakapan, mencoba menantang ide itu. "Tapi, nggak semua lambat itu baik, dong. Kadang orang lambat itu karena kebanyakan mikir atau malah malas. Lihat aja di kantor-kantor pemerintah, kita mau urus KTP aja harus nunggu lama. Itu lambat yang salah!"
Rijal, yang lebih tenang, menjawab, "Tentu, lambat yang kamu maksud itu lambat karena ketidakefisienan, Badu. Kalau semua sistem sudah baik dan orangnya kerja dengan benar, lambat asal selamat itu jadi bermakna. Tapi kalau lambat karena memang males atau nggak ada kemauan buat maju, itu beda cerita."
Kobar tersenyum lebar, merasa pendapatnya mulai diterima. "Nah, lihatlah kita di pos ronda ini. Kita jaga malam dengan tenang, lambat, dan nggak gegabah. Kalau ada maling lewat, kita nggak perlu buru-buru, cukup pantau dulu. Kalau buru-buru, malah salah tangkap atau kita kehabisan tenaga buat ngejar."