Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saatnya Menepi

18 Oktober 2024   12:46 Diperbarui: 18 Oktober 2024   12:49 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di pos ronda yang biasanya ramai, malam ini suasana berbeda. Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal, empat sahabat karib, tampak lesu. Bukan karena kantuk, tapi karena merasa ada yang ganjil dengan kehidupan mereka belakangan ini. Pembahasan malam itu bukan soal politik, ekonomi, atau masalah sosial biasa. Malam ini, mereka bicara tentang "menepi."

Kobar, yang paling sok bijak, memulai, "Kawan-kawan, rasanya kita sudah terlalu lelah dengan hiruk-pikuk dunia. Semua berlomba, saling sikut, padahal hidup ini sementara. Saatnya kita menepi."

Badu yang paling ceria, tampak bingung. "Menepi? Maksudmu apa, Kob? Kita pindah ke kampung sebelah? Atau ke gunung biar tenang?"

Kahar, yang lebih logis, tertawa kecil. "Badu, bukan itu maksudnya. Kobar mungkin bicara soal melepaskan diri dari semua kehebohan. Kayak, berhenti dari segala yang bikin stres. Ya, kan, Kob?"

Kobar tersenyum sambil menyesap kopi, merasa semakin bijak. "Benar, Kahar. Lihat kita sekarang. Semua orang di sekitar kita sibuk pamer harta, pamer prestasi, bahkan pamer kebahagiaan palsu di media sosial. Kita ikut-ikutan lupa, hidup bukan soal itu. Saatnya menepi, mencari ketenangan."

Rijal, yang biasanya pendiam, tiba-tiba bersuara, "Menepi? Kalau semua orang menepi, siapa yang ngurus dunia ini? Kalau semua orang mau tenang, siapa yang mau kerja?"

Badu tertawa lepas, "Iya, kalau kita semua menepi, siapa yang mau ronda?"

Kobar dengan cepat menimpali, "Ini bukan soal meninggalkan tugas, Badu. Ini soal menenangkan pikiran, keluar dari perlombaan yang nggak ada habisnya. Dunia sekarang sibuk mengejar materi. Coba lihat kita, kadang ikut-ikutan stres cuma karena orang lain punya lebih dari kita."

Kahar mengangguk setuju, "Benar juga. Lihatlah sekarang. Semua berlomba jadi kaya, tapi nggak pernah cukup. Orang bikin rumah besar, beli mobil mewah, tapi wajah mereka tetap penuh beban. Mungkin kita memang perlu sesekali menepi."

Rijal menghela napas, "Menepi boleh saja, tapi hidup nggak bisa dihindari begitu saja. Tetap harus dihadapi, walaupun kadang berat. Menepi bukan berarti kabur."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun