Di kampung kecil yang tenang, ada empat sahabat yang tak terpisahkan: Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Mereka sering berkumpul di pos ronda, membahas apa saja, dari yang serius sampai yang paling remeh. Malam ini, mereka duduk bersama sambil menyeruput kopi, topik mereka: "Semua karena Allah."
Kobar, yang terkenal paling sok tahu dan suka menyelipkan kata-kata religius dalam setiap percakapannya, memulai dengan suara berat, "Kawan-kawan, kita ini hidup di dunia sementara. Semua yang kita lakukan harus diniatkan karena Allah. Setiap langkah, setiap kata, harus kembali kepada-Nya."
Badu, yang biasanya paling malas membahas hal-hal berat, langsung nyeletuk, "Kobar, kalau semua karena Allah, kenapa waktu diminta bantu pindahin lemari tetangga kamu bilang sibuk? Bukannya itu juga bisa jadi pahala?"
Kobar terbatuk-batuk, "Ehm, waktu itu kan aku lagi banyak urusan. Tapi tetap, niatku sudah diniatkan untuk membantu. Cuma waktunya yang nggak pas."
Rijal, yang selalu kritis, menimpali dengan datar, "Jadi, maksudmu, niat saja sudah cukup? Nggak perlu melakukan sesuatu kalau waktunya nggak pas?"
Kobar tersenyum lebar, merasa menang, "Betul! Semua karena niat. Kalau niatnya sudah karena Allah, insya Allah pahalanya tetap ada. Lagipula, siapa yang tahu isi hati manusia kecuali Allah sendiri?"
Kahar yang dari tadi diam, mencoba menengahi, "Tapi, Kobar, niat memang penting, tapi amal juga harus diikuti. Kalau semua orang hanya niat, tapi nggak pernah melakukan apa-apa, kapan kampung ini maju? Kita harus berimbang antara niat dan tindakan."
Badu mengangguk setuju, "Iya tuh! Jangan cuma niat doang, hasilnya nol besar. Kayak kemarin, pas kerja bakti, kamu bilang 'Niatnya sih ikut, tapi Allah belum menggerakkan kaki.' Ya udah, kita yang gerak semua, kamu malah enak tidur di rumah."
Kobar mencoba membela diri, "Loh, yang penting kan niat ikhlas. Allah tahu siapa yang benar-benar mau, tapi kadang kondisi nggak memungkinkan."
Rijal tersenyum tipis, "Kondisi atau malas, Kobar?"