Badu tiba-tiba tertawa keras, "Tapi, kalian nggak bisa bohong. Kalian juga pasti mikirin amplop kalau diundang kondangan. Jangan-jangan kalian yang lebih mata duitan!"
Kahar mencoba membela diri, "Eh, tunggu dulu, Badu. Bukan berarti kita nggak pernah mikirin duit, tapi ada batasnya. Kalau segala hal jadi tentang uang, kapan kita bisa hidup tenang?"
Kobar, yang selalu suka memonopoli percakapan, berkata dengan nada lebih dramatis, "Benar! Kita sudah lupa arti gotong royong. Lihat saja waktu Bu Siti butuh bantuan renovasi rumahnya. Banyak yang bilang sibuk, padahal kalau dibayar, pasti langsung datang ramai-ramai."
Rijal yang biasanya paling kalem, tersenyum tipis, "Masalahnya bukan cuma di kampung ini. Ini fenomena di mana-mana. Orang-orang sekarang lebih suka keuntungan materi daripada nilai sosial. Tapi anehnya, kalau giliran mereka yang butuh, baru deh teriak soal solidaritas."
Badu, yang tampak malas menanggapi serius, menyela lagi, "Ah, santai saja lah. Duit memang penting. Kalau bisa, kita cari yang banyak biar hidup enak."
Kobar menatap Badu dengan tajam, "Nah, ini salah satu masalahnya! Semua orang jadi mikirnya kayak kamu, Badu. Harta di atas segalanya."
Kahar mencoba mengimbangi, "Ya, kita nggak bisa munafik. Uang memang penting, tapi kalau sampai semua hal diukur pakai uang, kita kehilangan esensi kebersamaan."
Rijal menutup diskusi malam itu dengan kalimat yang membuat semua terdiam sejenak, "Kalau orang terus mengejar uang, tanpa peduli lagi sama orang lain, lama-lama yang mereka kejar bukan cuma uang, tapi kesendirian. Karena saat semua serba dihitung pakai materi, kita lupa menghargai hal-hal yang nggak ternilai, seperti persahabatan, kejujuran, dan kebersamaan."
Mereka semua terdiam, merenungkan kata-kata Rijal. Malam itu terasa berbeda, karena meskipun mereka tertawa dan bercanda seperti biasa, ada kesadaran baru yang perlahan muncul di benak mereka.
Namun, di tengah kesunyian itu, Badu tiba-tiba berkata dengan nada santai, "Eh, tapi seriusan, kalau besok aku bantu pasang lampu jalan, bayarannya berapa ya?"
Semua tertawa terbahak-bahak. Parodi nyata kehidupan yang tak pernah lepas dari cengkeraman mata duitan.