Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Emak-Emak Zaman Now

18 Oktober 2024   04:38 Diperbarui: 18 Oktober 2024   08:33 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di kampung kecil yang biasanya tenang, suasana mendadak heboh setelah maraknya fenomena baru: emak-emak zaman now. Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal yang setiap malam berkumpul di pos ronda, tak habis pikir dengan perilaku para emak-emak yang mereka temui sehari-hari. Di balik semua keluhan mereka, ada rasa takut yang diam-diam menjalar di antara mereka, khususnya saat harus menghadapi emak-emak di jalanan.

Suatu malam, diskusi mereka dimulai dengan nada penuh kegelisahan. Kobar yang terkenal paling sok tahu langsung membuka percakapan, "Kalian lihat kan, makin hari makin nggak masuk akal kelakuan emak-emak sekarang. Itu ibu-ibu depan rumahku, bawa motor lampu sein ke kanan, tapi beloknya ke kiri. Gimana nggak bahaya?"

Badu, yang biasanya paling santai, langsung angkat tangan, "Wah, itu mah sudah standar. Aku juga pernah hampir tabrakan gara-gara emak-emak bawa motor sambil nelepon. Kaget setengah mati, eh dia malah nyalip sambil senyum."

Kahar yang dari tadi mendengarkan dengan bijak, angkat bicara, "Tapi kita nggak boleh asal menyalahkan, lho. Emak-emak zaman sekarang punya beban berat, mereka multitasking. Ngurus anak, rumah, kadang juga kerja. Mungkin itu alasan mereka suka ngaco di jalan."

Rijal, yang terkenal paling kritis tapi jarang bicara, tiba-tiba menyela, "Itu bukan alasan, Kahar. Ngurus anak dan rumah memang berat, tapi bukan berarti mereka bebas bikin aturan sendiri di jalan. Kita ini, cowok-cowok, kalau salah sedikit langsung diomelin polisi. Tapi emak-emak? Entah kenapa, mereka kayak punya kekebalan hukum."

Kobar tersenyum lebar, merasa menemukan topik yang tepat, "Itu dia masalahnya, Rijal! Emak-emak sekarang kayak punya 'hak istimewa'. Mau di jalan atau di pasar, mereka selalu menang. Kalau ada yang salah paham di jalan, kamu yang salah, bukan mereka!"

Kahar mencoba menjernihkan suasana, "Sebenarnya, kita nggak bisa pukul rata semua emak-emak begitu. Memang ada yang kelewatan, tapi banyak juga yang tetap bijak dan bisa diandalkan."

Badu dengan nada jahil menyela, "Tapi, emak-emak yang kelewatan itulah yang bikin kita trauma, Kahar! Nih, aku cerita ya, pernah ada ibu-ibu di pasar, dorong troli belanjaannya sampai nabrak kaki orang, terus malah dia yang marah-marah! Katanya, orang lain nggak bisa baca situasi, padahal jelas-jelas dia yang ugal-ugalan."

Semua tertawa terbahak-bahak, kecuali Kahar yang tetap berusaha tenang. "Aku nggak bilang mereka sempurna, Badu. Tapi mungkin kita perlu lihat dari sudut pandang mereka juga. Emak-emak sekarang punya tekanan sosial yang besar. Media sosial, tren, semuanya bikin mereka harus tampil serba bisa. Kadang mereka capek, makanya emosinya nggak terkontrol."

Rijal, yang dari tadi menyimak, mengangguk setuju, tapi tetap berkomentar, "Iya, Kahar. Aku ngerti mereka capek, tapi kenapa kalau di jalan mereka bisa melawan hukum fisika? Aku pernah lihat emak-emak nyelip di jalan satu arah, padahal jelas-jelas semua motor dari arah berlawanan. Dan tahu nggak apa yang terjadi? Semua motor dari arah lawan malah mengalah. Luar biasa!"

Kobar tertawa sambil menepuk pundak Rijal, "Hukum fisika nggak berlaku untuk emak-emak, Rijal. Mereka punya jurus pamungkas: tatapan maut! Sekali mereka lihat kita dengan mata melotot, kita langsung kalah. Habis sudah."

Kahar mencoba menahan tawa, "Mungkin kita harus kasih mereka lebih banyak ruang dan pemahaman. Jangan-jangan kita yang terlalu tegang menghadapi emak-emak."

Badu, sambil tertawa-tawa, berkata, "Atau mungkin kita harus belajar jurus baru: tatapan maut balasan! Biar seimbang!"

Malam itu diakhiri dengan tawa dan canda, meskipun di dalam hati, keempat sahabat itu tahu bahwa menghadapi emak-emak zaman now di jalanan dan di pasar memang butuh keberanian dan kesabaran ekstra. Sebab, tak peduli seberapa banyak teori tentang toleransi atau hukum jalan raya, ketika berhadapan dengan emak-emak yang membawa motor dengan arah sein yang tak menentu, satu hal yang pasti: yang benar atau salah, tetap kamu yang harus mengalah.

"Siapa yang berani melawan tatapan maut emak-emak?" gumam Kobar, sebelum mereka semua tertawa bersama lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun