Di sebuah desa kecil yang dikenal tenang, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal sering berkumpul di tepi sungai. Tempat itu menjadi spot favorit mereka untuk melepas penat, berbagi cerita, dan bercanda. Namun, pagi itu, suasana terasa berbeda. Cuaca mendung dan angin berhembus kencang, seolah meramalkan sesuatu yang tak menyenangkan.
"Eh, kenapa wajah kalian pada kusut gitu? Seperti baru dikejar utang!" Kobar mengawali obrolan sambil mengamati sahabat-sahabatnya.
Kahar menggeleng, "Gak ada utang, tapi hidup kita seperti dikejar cobaan. Lihat saja, Badu, sudah seminggu ini usaha gorengannya sepi pembeli!"
Badu mengeluh, "Iya, ini bikin stres! Belum lagi, Rijal, kamu pasti tahu ibumu marah karena kamu belum selesai kuliah!"
Rijal mengangguk pasrah. "Iya, semua terasa berat. Mau belajar, tapi kerjaan juga banyak. Kadang aku merasa seperti mengkhianati harapan orang-orang."
Kobar, yang berusaha tetap optimis, berkata, "Ayo, kita coba tenang. Kita bisa hadapi semua ini. Setiap cobaan pasti ada jalan keluarnya!"
"Tenang? Kamu lihat sendiri. Banjir lagi di desa sebelah, orang-orang pada ribut, dan kita di sini hanya ngeluh!" Kahar menggerutu.
Badu berusaha mencairkan suasana. "Tapi, setidaknya kita punya tempat untuk berkumpul dan berbagi. Kita masih bisa tertawa meski dunia di luar sana kacau balau!"
Kahar menatap sungai. "Kamu benar. Sungai ini selalu tenang meski badai datang. Mungkin kita perlu belajar dari alam."
Rijal, yang lebih serius, berkata, "Tapi bagaimana caranya kita bisa tenang saat semua orang di sekitar kita gelisah? Kita juga merasa tertekan dengan keadaan ini."