Di sebuah desa yang penuh dengan tradisi, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal adalah sahabat karib yang selalu memiliki pandangan unik tentang hidup. Suatu hari, mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan ke hutan yang terkenal dengan keindahan alamnya. Rencananya, mereka ingin menikmati kebersamaan sekaligus merenungkan hidup. Namun, perjalanan itu justru membawa mereka pada petualangan yang tak terduga.
Ketika mereka sampai di hutan, Kobar bersemangat berkata, "Ayo, kita harus mengambil jalan setapak yang terkenal ini! Banyak orang bilang itu jalan yang benar untuk menikmati keindahan hutan."
Kahar, yang selalu skeptis, mengernyitkan dahi. "Tapi bagaimana kita tahu itu jalan yang benar? Siapa yang menentukan jalan ini benar atau tidak?"
"Sudah, Kahar! Jangan sok filosofis. Kita ikuti saja! Yang penting kita tidak tersesat," jawab Badu, yang lebih suka santai.
Rijal yang sedang mencari ponselnya, ikut menimpali, "Eh, mana ada sinyal di sini? Kita mau bersenang-senang atau malah berdebat? Ayo, kita jalan!"
Mereka pun berjalan menyusuri jalan setapak. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai merasa bingung. Hutan tampak sama di mana-mana, dan tidak ada tanda-tanda yang jelas menunjukkan arah.
Kobar mulai merasa cemas. "Sepertinya kita sudah berjalan terlalu jauh. Kenapa rasanya seperti tidak ada ujungnya?"
Kahar, yang terlihat lebih serius, berkata, "Mungkin kita harus kembali. Ternyata, jalan yang benar pun bisa membuat kita tersesat."
Badu tertawa. "Iya, ini namanya tersesat di jalan yang benar! Kita sudah mengikuti apa yang dianggap benar, tapi nyatanya kita malah tidak tahu di mana kita berada!"
Rijal, yang masih berusaha meneliti sekeliling, berkata, "Tenang saja! Kita bisa bertanya pada hewan hutan. Mungkin mereka bisa memberi tahu kita jalan keluar."
Kobar memandang Rijal dengan bingung. "Hewan? Kamu pikir rusa atau burung akan memberi petunjuk?"
Tanpa mereka sadari, waktu terus berjalan, dan suasana hutan mulai gelap. Kahar mengusulkan, "Bagaimana kalau kita membuat api unggun? Setidaknya kita bisa menghangatkan badan sambil berpikir."
Mereka mulai mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun. Di tengah suasana hangat itu, Kobar berkata, "Ternyata, tersesat di jalan yang benar membuat kita lebih sadar akan diri kita sendiri."
"Bisa jadi," jawab Kahar. "Ketika kita mengikuti jalan yang dianggap benar, kita sering kali tidak menyadari tujuan sebenarnya."
Badu menambahkan, "Dan kadang kita perlu tersesat untuk menemukan makna yang lebih dalam dalam hidup."
Rijal yang penasaran bertanya, "Tapi, apa makna itu? Apakah kita harus terus berjalan meski tersesat?"
Kobar berpikir sejenak dan menjawab, "Mungkin hidup itu seperti perjalanan. Kadang kita perlu tersesat untuk menemukan arah yang sebenarnya. Tidak semua yang terlihat benar itu pasti benar."
Malam itu, saat mereka duduk di sekitar api unggun, Kahar merasakan kedamaian. "Mungkin kita tidak perlu terlalu memikirkan arah yang benar. Yang terpenting adalah kita menikmati perjalanan ini bersama."
Badu tersenyum. "Iya, kita bisa jadi tersesat, tapi setidaknya kita memiliki satu sama lain. Itu sudah cukup."
Rijal kemudian berdiri dan mengangkat tangannya, "Jadi, siap untuk kembali? Atau kita mau bermalam di sini dan membangun peradaban baru?"
Kobar menimpali, "Mungkin kita bisa membangun tenda dari ranting dan dedaunan! Siapa tahu, ini bisa jadi tempat peristirahatan bagi para petualang yang tersesat di jalan yang benar."
Semua tertawa, dan saat mereka menikmati momen tersebut, tiba-tiba ada suara dari arah belakang. Seorang pendaki muncul, tampak bingung namun ceria. "Kalian di sini? Saya sudah melihat kalian dari jauh! Ini jalan keluar, ikuti saya!"
Kehadiran pendaki itu seakan memberi mereka petunjuk untuk kembali ke jalan yang benar. Dengan bersemangat, mereka mengikuti pendaki tersebut dan kembali ke jalur utama.
Sesampainya di jalan yang benar, Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal menatap satu sama lain dengan senyuman lebar. "Jadi, kita sudah menemukan jalan yang benar, tapi dengan cara yang salah," Kobar tertawa.
Kahar, sambil mengangguk, menambahkan, "Tapi kita belajar sesuatu yang berharga: terkadang tersesat adalah bagian dari perjalanan itu sendiri."
Badu menimpali, "Dan yang terpenting, kita selalu punya satu sama lain untuk menemani kita, bahkan saat kita tersesat."
Rijal mengangkat gelas air mineralnya, "Untuk perjalanan kita! Baik yang benar maupun yang tersesat!"
Dengan semangat, mereka bersulang dan melanjutkan perjalanan pulang, menyadari bahwa dalam hidup, terkadang jalan yang benar bukanlah yang paling mudah, tetapi adalah bagian dari pengalaman yang membuat mereka lebih kuat dan lebih berarti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H