Di Desa Makmur, ada sebuah program yang digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan ekonomi masyarakat: Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal, empat sahabat yang selalu siap menghadapi keseruan, tidak ketinggalan untuk ikut ambil bagian. Namun, yang mereka temukan lebih konyol daripada yang dibayangkan.
Suatu pagi, di pos ronda yang menjadi markas mereka, Kobar membuka pembicaraan. "Eh, kalian tahu nggak, Bumdes kita mau buka usaha baru? Rumor-rumornya sih, kita mau buka warung kopi!"
Kahar mengerutkan dahi. "Warung kopi? Di desa kita yang jarang ada orang nongkrong? Apa nggak lebih baik jualan sembako aja?"
Badu tertawa. "Iya, lagipula, siapa yang mau ngopi sambil menunggu truk barang datang? Belum tentu ada yang beli kopi kita!"
Rijal, yang biasanya pendiam, tiba-tiba bersemangat. "Tapi bayangkan, kita bisa jadi tempat ngumpul anak muda! Kopi kita bisa jadi legendaris. Misalnya, 'Kopi Gagal Bisnis', karena semua yang kita coba selalu gagal!"
Mereka semua tertawa, dan Kobar berteriak, "Kita bisa buat promo! 'Beli satu, gratis satu, jika Anda juga membawa pulang satu!'"
Namun, tidak lama kemudian, berita tentang pembukaan warung kopi Bumdes tersebut sampai ke telinga warga desa. Beberapa orang menyambut dengan antusias, tetapi banyak yang meragukan kemampuan mereka dalam menjalankan usaha ini.
"Eh, kalian yakin bisa? Yang di desa ini saja sudah banyak yang bangkrut," kata Bu Rina, salah satu warga yang skeptis. "Belum tentu mereka bisa bikin kopi enak."
"Jangan khawatir! Kita akan kasih pelatihan! Pasti bisa," kata Kahar dengan percaya diri. "Bukan soal enak atau nggaknya, tapi soal branding!"
Hari pembukaan pun tiba. Dengan banner besar bertuliskan "Kopi Makmur: Rasa yang Mengguncang Dunia!", mereka siap menyambut pengunjung. Namun, ternyata yang datang hanya segelintir warga.