Namun, Kobar tak mau kalah. Ia mulai membujuk Pak RT dan warga kampung untuk mendukung proyek seninya. Setiap malam ia keliling, mendatangi rumah warga, menjelaskan dengan penuh semangat tentang betapa pentingnya seni modern di tengah masyarakat desa.
Pak RT, yang dikenal bijak, akhirnya memutuskan untuk memberikan Kobar kesempatan. "Baiklah, Bor. Tahun ini kita coba masukkan sedikit unsur senimu ke acara. Tapi jangan terlalu banyak, ya? Kita tetap harus jaga identitas kampung kita."
Kobar sangat senang. Dengan semangat menggebu-gebu, ia mulai bekerja. Sepeda terbalik benar-benar dipasang di tiang listrik. Jembatan bambu setengah jadi dibangun di depan balai desa. Dan lukisan-lukisan abstrak dipajang di sepanjang jalan masuk kampung.
Hari yang ditunggu-tunggu tiba, acara tahunan Kampung Ngarep berlangsung dengan meriah. Namun, reaksi warga terhadap "karya seni" Kobar cukup bervariasi---kebanyakan berupa tawa geli atau bingung. Anak-anak kecil malah bermain lempar-lemparan di sekitar jembatan setengah jadi, sementara ibu-ibu kampung sibuk membicarakan bagaimana sepeda terbalik itu seharusnya dikembalikan ke fungsinya yang normal.
"Kobar, ini maksudnya apa?" tanya seorang warga, Pak Bejo, sambil menunjuk sepeda di tiang listrik. "Kamu pasang sepeda di tiang, padahal sepeda itu kan buat dinaiki di jalan?"
Kobar, yang sejak pagi sudah berkeliaran dengan berlagak seperti seniman terkenal, hanya tersenyum dan berkata, "Ah, Pak Bejo, ini bukan soal fungsi. Ini soal seni, soal makna yang tersembunyi. Ini simbol perlawanan!"
Pak Bejo menggaruk kepalanya, bingung. "Perlawanan apa, Bor? Aku cuma pengen naik sepeda buat ke pasar, bukan ngelawan apa-apa."
Di sisi lain, Kahar, Badu, dan Rijal hanya bisa menonton dari kejauhan. "Bor ini terlalu idealis," gumam Kahar. "Niatnya bagus, tapi orang kampung ini ya maunya yang sederhana aja. Kadang, kesederhanaan juga seni."
Saat malam tiba dan acara semakin meriah, Kobar mulai sadar bahwa "karya seninya" lebih banyak jadi bahan candaan daripada apresiasi. Beberapa warga bahkan mulai menggunakannya sebagai latar foto selfie dengan caption yang mengolok-olok di media sosial.
Akhirnya, Kobar duduk lesu di pos ronda, ditemani oleh Kahar, Badu, dan Rijal. "Aku cuma pengen buat kampung ini lebih maju dalam seni," keluh Kobar. "Tapi kenapa malah jadi begini?"
Badu menepuk bahunya. "Bor, seni itu penting, tapi yang lebih penting adalah bagaimana seni itu bisa diterima oleh orang-orang di sekitarmu. Kamu terlalu jauh ke depan, sementara kita di sini masih berjalan perlahan."