Di sebuah kampung kecil bernama Kampung Ngarep, ada empat sahabat yang selalu jadi pusat perhatian karena ide-idenya yang kadang di luar nalar: Kobar, Kahar, Badu, dan Rijal. Meskipun ketiganya punya profesi berbeda---Kahar sebagai tukang kayu, Badu pengrajin gerabah, dan Rijal petani---ada satu hal yang mereka semua setuju: Kobar *mengklaim* dirinya sebagai seniman.
Kobar, yang biasanya sibuk nongkrong di pos ronda dengan buku sketsa dan kuas kecil, selalu punya alasan untuk menyebut dirinya seniman paling berbakat di Kampung Ngarep. Sayangnya, hasil karya Kobar lebih sering mengundang tawa daripada kekaguman.
Suatu sore, saat mereka berkumpul di balai desa untuk rapat kecil tentang acara tahunan kampung, Kobar datang dengan langkah tegap sambil membawa gulungan kertas besar di tangannya. "Saudara-saudara, dengarkan! Aku punya ide revolusioner untuk acara kampung tahun ini!"
Kahar, yang sedang asyik memotong bambu, mengangkat alis. "Revolusioner apanya, Bor?"
"Seniman besar seperti aku tidak bisa berpikir biasa-biasa saja!" Kobar membuka gulungan kertasnya, yang ternyata adalah sebuah rencana pertunjukan seni besar-besaran untuk acara kampung. Di sana tergambar berbagai objek aneh seperti sepeda terbalik yang dipasang di tiang listrik, jembatan bambu setengah jadi, dan lukisan abstrak yang---jujur saja---terlihat lebih seperti coretan anak-anak.
"Ini apa, Bor?" tanya Badu dengan bingung, menatap gambar sepeda terbalik.
Kobar menjawab dengan penuh percaya diri. "Ini adalah instalasi seni modern, teman-teman! Sepeda terbalik di tiang itu simbol perlawanan terhadap sistem. Jembatan setengah jadi itu simbol kehidupan yang tak pernah sempurna. Dan lukisan abstrak ini... ah, ini mah karya yang hanya bisa dipahami oleh jiwa-jiwa seni seperti aku!"
Rijal tertawa kecil. "Jiwa seni atau jiwa yang gak waras, Bor? Jujur aja, aku gak ngerti maksud semua ini. Kita mau bikin acara kampung, bukan pameran seni yang bikin pusing."
Tapi Kobar tidak menyerah. "Ah, kalian ini orang-orang kampung yang gak paham seni! Lihat deh seniman-seniman di kota besar, mereka bikin hal-hal yang bahkan lebih gak masuk akal! Tapi justru itu yang bikin mereka terkenal. Kampung Ngarep ini butuh gebrakan seni! Jangan cuma soal wayang kulit dan lomba tarik tambang terus!"
Kahar mengangguk pelan. "Memang benar, kita butuh inovasi, Bor. Tapi apa ya, instalasi sepeda terbalik ini gak terlalu membantu reputasi kampung kita juga."