Setelah beberapa putaran, Badu berhasil mendapatkan kartu as. "Saya yang jadi ketua! Ayo, kita rencanakan strategi politik kita!" teriaknya penuh semangat.
"Tunggu! Kita belum menentukan posisi masing-masing!" Rijal berteriak. "Kau bisa saja jadi ketua, tapi kita semua butuh jabatan!"
Kobar dengan cepat meraih kartunya dan menunjukkan kartu dua. "Kita semua butuh perwakilan di setiap level! Kartu ini merepresentasikan jari-jari tangan rakyat, semua harus saling mendukung!"
Rijal segera menimpali, "Tapi dengan begini, kita malah terlihat seperti jari telunjuk yang menunjuk ke orang lain! Ini bukan cara yang baik untuk memimpin!"
Badu tersenyum lebar. "Jadi, sepertinya kita perlu menjadikan setiap kartu sebagai wakil rakyat. Yang dapat kartu kecil jadi anggota DPR, dan yang besar jadi presiden!"
"Dan joker sebagai pengamat, untuk selalu siap memberi kritik!" Kahar menambahkan, tak mau ketinggalan.
Permainan semakin seru ketika tiba-tiba Kobar berteriak, "Ini dia! Kartu jokernya! Kita harus segera melakukan sidang mendadak!"
Badu dan Kahar saling berpandangan. "Sidang mendadak? Di sini? Sambil main kartu?" seru Badu bingung.
"Ya, supaya kita bisa membahas anggaran untuk pengadaan kartu yang lebih baik!" jawab Kobar.
Akhirnya, mereka sepakat untuk melakukan sidang parodi. Semua yang ada di meja dijadikan alat untuk berdebat. Kahar mengambil botol minuman sebagai 'kursi pimpinan'. "Sidang dimulai! Kita perlu membahas satu hal yang penting: bagaimana agar kartu kita tidak dibajak?"
Rijal, yang sudah tertawa terpingkal-pingkal, berkomentar, "Kita tinggal buat undang-undang baru: setiap kartu yang dibajak harus dibayar denda dengan lima kartu baru!"