Dalam situasi kehidupan yang semakin sulit dan penuh ketidakpastian, menjadi baik sering kali dianggap sebagai tindakan yang naif atau bahkan dianggap kelemahan. Dunia yang semakin kompleks---di mana konflik sosial, ketidakadilan, dan kemerosotan moral tampak di mana-mana---mendorong banyak orang untuk mempertanyakan relevansi kebaikan di tengah kondisi yang memburuk. Mengapa tetap berbuat baik ketika dunia terasa semakin keras ? Apakah menjadi baik di tengah kondisi yang memburuk hanyalah bentuk ketidakberdayaan ? Atau, justru sebaliknya, apakah itu tindakan keberanian yang paling dibutuhkan saat ini ?
Realitas yang Memburuk : Kegagalan Kebaikan ?
Ketika kondisi semakin memburuk---apakah itu ketidakpastian ekonomi, krisis sosial, atau merosotnya moralitas dalam berbagai sektor---orang sering kali terdorong untuk bertindak pragmatis. "Bertahan hidup" menjadi prioritas utama, dan sering kali nilai-nilai kebaikan dianggap sebagai kemewahan yang tidak bisa dipraktikkan dalam kondisi yang keras. Kita melihat, misalnya, dalam masyarakat yang dilanda krisis, orang lebih cenderung mengabaikan norma-norma kebaikan demi kepentingan pribadi, termasuk melakukan tindakan yang tidak etis demi bertahan hidup.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: Apakah kebaikan gagal dalam menghadapi realitas yang semakin memburuk ? Banyak yang beranggapan bahwa berbuat baik menjadi tidak relevan karena kebaikan dianggap lamban dan tidak efektif dalam menanggapi tantangan hidup yang makin mendesak. Seakan-akan, di tengah keruntuhan moral dan ketidakpastian, hanya kecerdasan taktis dan kekuatan pragmatis yang mampu memberi jalan keluar.
Namun, benarkah demikian ? Atau kita justru salah dalam melihat peran kebaikan dalam konteks yang lebih luas ?
Kebaikan sebagai Sikap Perlawanan
Menjadi baik dalam situasi yang memburuk bukanlah kelemahan, melainkan bentuk perlawanan. Dalam kondisi sulit, kebaikan menjadi lebih penting karena ia adalah simbol dari kemanusiaan yang tak bisa dihancurkan oleh situasi terburuk sekalipun. Bertahan untuk tetap baik dalam krisis adalah tindakan yang penuh keberanian, bukan tindakan naif. Ia membutuhkan keteguhan hati untuk tidak terseret dalam arus kepentingan pribadi dan keserakahan yang kerap muncul saat dunia terasa tidak adil.
Kebaikan dalam kondisi buruk berfungsi sebagai penjaga dari runtuhnya peradaban moral. Ketika orang-orang mulai melupakan pentingnya kejujuran, solidaritas, dan keadilan, dunia akan semakin terjerumus dalam kekacauan dan ketidakadilan yang lebih besar. Menjadi baik adalah cara untuk menjaga integritas diri dan martabat manusia, serta mengingatkan bahwa kita masih bisa menciptakan perubahan positif, sekecil apapun itu.
Nelson Mandela, yang menghabiskan 27 tahun dalam penjara dan tetap mempertahankan sikap baik serta penuh kasih terhadap lawan-lawannya, adalah contoh nyata bagaimana kebaikan dapat menjadi bentuk perlawanan paling efektif. Kebaikannya tidak membuatnya lemah, justru sebaliknya, ia memenangkan hati jutaan orang dan meruntuhkan rezim apartheid.
Tantangan Menjadi Baik di Tengah Krisis
Meski begitu, menjadi baik di tengah kondisi yang memburuk bukan tanpa tantangan. Sering kali, orang baik dihadapkan pada situasi di mana kebaikan mereka disalahgunakan atau tidak dihargai. Orang yang tetap jujur bisa saja terjebak dalam kesulitan ekonomi, sementara mereka yang tidak jujur justru mendapatkan keuntungan. Orang yang tetap peduli pada orang lain mungkin menghadapi kelelahan mental karena selalu mengutamakan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri.
Tantangan lainnya adalah perasaan bahwa tindakan kebaikan tampak tidak berpengaruh dalam skala besar. Ketika krisis terus terjadi, banyak yang merasa kebaikan kecil yang mereka lakukan tidak akan mengubah apapun. Tetapi di sinilah letak kekuatan kebaikan yang sebenarnya: meski tampak kecil, kebaikan memiliki dampak kumulatif. Setiap tindakan baik, sekecil apapun, menciptakan gelombang positif di sekitar kita, dan seiring waktu, dapat memicu perubahan yang lebih besar.
Menjadi Baik Adalah Tindakan Keberanian
Memilih untuk tetap menjadi baik dalam kondisi yang memburuk bukan berarti menutup mata terhadap kenyataan atau hidup dalam ilusi. Menjadi baik bukanlah tindakan bodoh, tetapi justru tindakan keberanian karena menolak menyerah pada tekanan keadaan. Ketika kondisi memburuk, insting manusia untuk bertahan hidup mungkin mendorong mereka untuk bertindak egois atau pragmatis. Tetapi mereka yang mampu mempertahankan kebaikan di tengah situasi sulit adalah mereka yang memiliki kekuatan karakter yang sesungguhnya.
Kebaikan juga mengandung daya transformatif yang tidak dimiliki oleh tindakan egois. Dalam krisis, sering kali hanya dengan menunjukkan kebaikan kita dapat memperbaiki hubungan sosial yang rusak, menciptakan harapan di tengah keputusasaan, dan membangun kembali kepercayaan dalam komunitas. Kebaikan adalah benih dari solidaritas, dan solidaritas adalah kunci untuk keluar dari situasi krisis secara bersama-sama.
Kebaikan sebagai Pilar Ketahanan Sosial
Ketika kondisi memburuk, kebaikan sering kali dianggap tidak relevan atau bahkan lemah. Namun, kritik terhadap kebaikan dalam situasi krisis harus dipertimbangkan kembali. Justru dalam situasi sulit, kebaikan adalah pilar penting untuk menjaga ketahanan sosial dan moralitas manusia. Ia bukanlah kelemahan, melainkan bentuk perlawanan yang paling efektif terhadap keruntuhan nilai-nilai kemanusiaan. Menjadi baik dalam kondisi yang memburuk adalah tindakan berani, karena ia menolak tunduk pada keputusasaan dan egoisme, sambil tetap memperjuangkan keadilan, solidaritas, dan kemanusiaan.
Kita tidak boleh menganggap kebaikan sebagai sesuatu yang sekadar romantis atau idealis. Kebaikan adalah fondasi bagi masyarakat yang lebih baik, dan meskipun dunia terasa semakin keras, tetaplah menjadi baik adalah bentuk kekuatan yang tak ternilai harganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H