Mohon tunggu...
BUDIAMIN
BUDIAMIN Mohon Tunggu... Seniman - K5 ArtProject

Hanya debu yang diterbangkan angin

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Eksklusivitas Pelukis yang Mapan, Menciptakan Jarak antara Seni dan Masyarakat

7 Oktober 2024   11:17 Diperbarui: 7 Oktober 2024   11:18 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia seni rupa sering kali diromantisasi sebagai ranah di mana kebebasan ekspresi dan kreativitas menjadi puncak dari perjalanan seorang seniman. Namun, semakin mapan seorang pelukis, semakin eksklusif pula karya dan dirinya di mata publik. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan jarak antara pelukis dan masyarakat, tetapi juga menciptakan ketidakadilan dalam akses terhadap seni itu sendiri. Eksklusivitas yang dibangun di sekitar nama besar seorang pelukis justru sering kali menghilangkan esensi dari seni sebagai medium universal yang seharusnya dapat diakses oleh semua kalangan.

Seni yang Berjarak: Dari Galeri ke Elite

Pelukis yang mapan, dengan karya yang diakui secara luas, sering kali memasuki fase di mana mereka menjadi simbol status di kalangan kolektor kaya dan galeri-galeri ternama. Karya mereka, yang dulunya mungkin dihasilkan dari dorongan kreatif yang murni, kini dipajang di ruang-ruang eksklusif yang hanya dapat diakses oleh segelintir orang. Pameran-pameran yang awalnya terbuka untuk masyarakat umum kini menjadi lebih terbatas, dengan undangan yang hanya diberikan kepada kolektor, kritikus seni, dan kalangan elit tertentu.

Eksklusivitas ini membuat seni rupa semakin berjarak dari masyarakat luas. Padahal, seni seharusnya menjadi cerminan dari kehidupan dan pengalaman manusia secara keseluruhan, bukan hanya milik segelintir orang yang mampu membelinya. Ketika pelukis semakin mapan dan harga karyanya melambung tinggi, akses masyarakat biasa terhadap karya-karya tersebut semakin terbatas. Akibatnya, mereka yang tidak mampu membeli karya seni atau bahkan menghadiri pameran menjadi semakin teralienasi dari dunia seni rupa.

Harga yang Meningkat, Nilai yang Semakin Terbatas

Eksklusivitas pelukis mapan tidak hanya tercermin dari akses yang terbatas, tetapi juga dari harga karya yang semakin melambung tinggi. Dalam banyak kasus, ketika seorang pelukis mencapai puncak popularitas, harga karyanya menjadi begitu mahal sehingga hanya segelintir orang yang mampu membelinya. Kolektor seni kaya menjadi penentu nilai karya seni, sementara masyarakat biasa hanya bisa mengagumi dari jauh tanpa pernah memiliki kesempatan untuk mendekati karya tersebut secara langsung.

Meskipun harga yang tinggi sering kali diartikan sebagai pengakuan terhadap kualitas artistik, dalam kenyataannya, peningkatan harga ini sering kali menciptakan ilusi nilai yang sebenarnya tidak mencerminkan esensi dari karya seni itu sendiri. Seni yang dulu dihasilkan dari dorongan kreatif dan keinginan untuk berkomunikasi dengan masyarakat luas kini menjadi barang mewah yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang memiliki kekayaan material. Di sinilah ironi terletak: seni yang seharusnya menembus batasan sosial justru menciptakan batas-batas baru yang semakin tegas.

Pelukis sebagai Simbol Status

Ketika seorang pelukis mencapai titik di mana karyanya dianggap sebagai barang koleksi berharga, ia tidak lagi hanya menjadi seorang seniman, tetapi juga simbol status. Banyak kolektor seni yang membeli karya pelukis terkenal bukan karena mereka benar-benar mengapresiasi karya tersebut, tetapi lebih karena karya tersebut memberikan status sosial di kalangan elit. Semakin eksklusif seorang pelukis, semakin tinggi nilai sosial dari kepemilikan karyanya.

Fenomena ini tidak hanya merugikan masyarakat yang kehilangan akses terhadap karya seni, tetapi juga merugikan pelukis itu sendiri. Seorang pelukis yang terjebak dalam lingkaran eksklusivitas ini mungkin mulai menghasilkan karya bukan lagi karena dorongan kreatif, tetapi karena tuntutan pasar dan kebutuhan untuk mempertahankan statusnya. Kreativitas yang seharusnya menjadi inti dari proses berkarya mulai tergerus oleh tekanan untuk memenuhi ekspektasi kolektor dan pasar seni yang semakin kompetitif.

Mengapa Eksklusivitas Tidak Sejalan dengan Spirit Seni ?

Seni, dalam esensinya, adalah medium untuk mengekspresikan gagasan, emosi, dan pandangan tentang dunia. Ia harus dapat diakses oleh semua orang, terlepas dari latar belakang ekonomi atau sosial. Namun, ketika seorang pelukis semakin mapan dan eksklusif, seni sering kali kehilangan spirit inklusif tersebut. Seni menjadi komoditas yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang memiliki kekayaan material, sementara mereka yang seharusnya menjadi bagian dari audiens seni---masyarakat umum---terpinggirkan.

Eksklusivitas ini juga menciptakan ketidakseimbangan dalam distribusi seni dan apresiasi terhadap karya seni. Sebagian besar masyarakat tidak memiliki akses yang memadai untuk melihat karya seni secara langsung atau menghadiri pameran seni. Galeri dan museum yang seharusnya menjadi tempat untuk mendekatkan masyarakat dengan seni justru semakin eksklusif dan sulit dijangkau oleh publik.

Peran Pelukis dalam Mengembalikan Seni kepada Masyarakat

Sebagai pelukis yang mapan, penting bagi seniman untuk menyadari peran sosial mereka dalam masyarakat. Seni bukanlah sekadar barang komoditas yang diperjualbelikan, tetapi juga medium untuk berkomunikasi dengan masyarakat luas. Pelukis harus berupaya untuk tetap terhubung dengan audiens yang lebih luas, tidak hanya dengan galeri dan kolektor elit, tetapi juga dengan masyarakat yang lebih beragam.

Pameran seni yang terbuka untuk umum, kegiatan sosial yang melibatkan seni, serta inisiatif seni publik adalah beberapa cara untuk mengembalikan seni kepada masyarakat. Pelukis mapan dapat menggunakan popularitas dan pengaruh mereka untuk menciptakan ruang-ruang baru di mana seni dapat dinikmati oleh semua orang, tanpa batasan eksklusivitas. Ini adalah bentuk tanggung jawab sosial yang seharusnya dipikul oleh setiap pelukis yang telah mencapai kesuksesan.

Eksklusivitas yang melekat pada pelukis yang semakin mapan menciptakan jarak antara seni dan masyarakat. Seni yang seharusnya menjadi sarana ekspresi yang inklusif dan universal kini lebih banyak dimiliki oleh segelintir orang kaya yang menjadikannya sebagai simbol status. Pelukis mapan harus menyadari bahwa kesuksesan mereka datang dengan tanggung jawab sosial untuk tetap menjaga keterhubungan dengan masyarakat luas dan tidak terjebak dalam lingkaran eksklusivitas yang membatasi akses terhadap seni. Seni yang sejati adalah seni yang mampu merangkul semua kalangan, bukan hanya milik mereka yang berada di puncak tangga sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun