Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[MPK] Fatamorgana yang Menghampiri

10 Juni 2011   13:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:39 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ruanganber-AC lantai 23 gedung di kawasan segitiga emas Jakarta itu tak cukup mendinginkan suasana rapat eksekutif yang semakin alot malam ini. Sejak matahari belum terbenam, kami bertiga bersitegang tentang rencana pengeluaran uang perusahaan. Ikhwal pengelolaan kekayaan perusahaan, pastinya menjadi tanggung jawab Direktur Keuangan yang secara periodik membuat laporan sewajar mungkin. Yang membuat kepalaku berdenyut menahan tekanan darah, adalah usulan pembiayaan dari Indra, kolegaku yang menjabat Direktur Utama.

“Dana ini sangat strategis. Besok siang saya bertemu dengan sekretaris menteri. Pastinya ia tidak mau menerima cheque. Lebih sulit dilacak jika berupa uang tunai......”

Indra memang sangat persuasif kalau ada maunya. Aku mengenalinya jika wajah sahabatku itu mulai mendayu agar dipenuhi keinginannya, seperti tempo dulu saat masih di bangku kuliah membujukku untuk menyelesaikan semua paperworks-nya.

Ludwi, Direktur Operasional meyakinkanku:

“Tenang saja, toh nanti saat penandatangan proyek dari Kementerian itu, kita bisa ambil PBO sebagai pengganti dana ini. Tak ada yang hilang kok. Malah ada kelebihan untuk ganti mobil kantor kita nih......!!!”

PBO atau Profit Before Operation adalah istilah kami bertiga meng-ijon keuntungan dana sebelum memulai pengerjaan proyek. Rumit sih, tapi dana dari investor atau lembaga pembiayaan yang ditilep paling dahulu ini merupakan hasil mark-up keuangan proyek. Mereka mengajakku bermitra di perusahaan ini, karena kemahiranku di bidang perekayasaan keuangan. Dalam memuluskan usaha tersebut, aku akan membuat sebuah perusahaan sub-kontraktor yang nantinya berdomisili di luar negeri. Pendirian dan pengelolaan special purpose vehicle (SPV) tersebut dilakukan melalui sebuah agen jasa yang bernama Foreign Company Registry Agency (FCRA) di Singapura. Jadilah sebuah perusahaan bayangan yang sulit dilacak, dan jangan harap bisa menemukan nama kami atau pihak terkait dengan kami. Semua urusan legal, perpajakan, dan perbankan diurus oleh FCRA. Oleh karena itu, hingga saat ini perusahaan domestik kami selalu lolos dari pemeriksa pemerintah, karena bisa menghadirkan official receipt dari perusahaan pemasok luar negeri. Bermain cantik untuk mencuri dana milik negara.

Sejurus aku berdiri menyiratkan keinginan untuk segera ke luar ruangan. Kedua kolegaku memandang tajam menunggu reaksiku.

Okelah, besok first thing in the morning aku tandatangani cek pencairan dana itu. Ini sudah ada sms, agar aku segera makan malam dengan istriku. Selamat malam........”

Aku pamit sambil meraih tas dan tak menunggu balasan sapaanku dari mereka.

Saat keluar pintu kantor, aku sempat melirik resepsionis yang sedang memulas pipinya.

“Ning, kamu belum mau pulang?” sapaku.

“Sebentar lagi saya pulang kok Pak....... Menunggu dijemput suami.....”

Timpal Nuning, yang tak menghentikan polesannya. Nuning memang cantik dan pantas sebagai resepsionis perusahaan. Ia ramah, sedap dipandang dan sangat seksi. Telah berkembang gunjingan di kantor ini, bahwa Indrapun bertekuk-lutut lalu diam-diam menjalin hubungan asmara dengannya.

* * * * *

Di tengah macetnya lalu-lintas jalan Gatot Subroto aku menelpon Lia:

“Say… , kamu sudah sampai mana?”

“Aku sudah di jalan mas. Maaf agak terlambat, masalahnya tadi si Putri agak rewel, minta jalan-jalan”

Lia sepertinya agak gusar. Putri, si bungsu, yang kini baru duduk di bangku kelas II, merengek minta jalan-jalan ke mall.

Mending kalau minta jalan-jalannya sejak siang tadi. Oh, iya aku pake taksi, malas nyetir sendiri malam ini. Gak apa-apa mas, kata si bibi ia sudah gak nangis lagi kok.....”

Aku bisa merasakan betapa kecewanya anak-anak bila keinginannya tidak terpenuhi. Aku akhir-akhir ini jarang bersama keluarga, meski hanya sekadar jalan atau makan di luar, karena kesibukan di kantor.

“Syukurlah kalau sudah bisa diatasi. Aku sudah keluar dari kantor. Kita ketemu di tempat kesukaan kamu ya...!. Sepertinya aku duluan tiba. Aku pesenin makanan kesukaanmu ya, say?”

“Boleh juga tuh. Awas, jangan sampai kepedesan lagi, ya,” jawab Lia manja.

Beberapa menit setelah aku memesan makanan, Lia tiba. Suara sapaan menggetarkan hati meluncur dari dari bibir mungil bergincu sewarna busana malamnya itu. Ah...masih Lia yang seperti dulu, perempuan istimewa yang menjadi oase saat benakku terbakar oleh bara permasalahan pekerjaan. Semenjak dahulu, saat masih menjadi mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung, selalu setia mendengarkan keluhanku.

* * * * *

Lia, adalah salah satu pemanis Fakultas Sastra Inggris, sedangkan aku di Fakultas Ekonomi. Cita-citanya adalah menjadi guru sekaligus mendirikan Lembaga Pendidikan Bahasa Inggris. Namun, keinginan itu tidak pernah terwujud, sebab orang tuanya tidak mengizinkannya untuk mencari kerja. Mahasiswi cerdas dan aktif di dalam organisasi kampusnya, yang tiba-tiba harus menjadi anak rumahan.

Aku mengenal Lia saat pendaftaran anggota baru organisasi pecinta alam kampus. Sebagai pecinta alam senior aku merasa heran, gadis bertubuh mungil manis elok dipandang itu kok mau-maunya ingin menjadi anggota organisasi yang keras berbau petualangan. Jangan-jangan ia tidak lolos dalam rangkaian test yang akan diberikan nanti. Terbukti kemudian, Lia mampu melampaui test tertulis dan fisik dengan hasil di atas rata-rata peserta lainnya. Maka dalam waktu tidak terlalu lama, iapun menjadi pengurus inti karena aktivitasnya yang mengagumkan. Dalam setiap rapat organisasi, kemampuannya semakin bersinar, Lia begitu kaya ide dan cepat dalam mengambil keputusan. Yang paling mengagumkan, pada ekspedisi ke beberapa gunung ia jarang mengeluh, secara fisik maupun teknis. Sehingga keterlibatannya dalam setiap kegiatan menjadi strategis.

Dari rasa kagum, ujung-ujungnya muncul rasa suka. Perasaan itu terucap dalam perjalanan survey mendaki Gunung Gede-Pangrango, untuk persiapan pendidikan dasar bagi anggota baru. Bak gayung bersambut, ternyata Lia pun memendam perasaan yang sama. Terucaplah kesepakatan untuk saling menyangi. Sebagai mahasiswa yang idealis, kami memiliki semangat sama demi menggambar road-map menuju masa depan.

“Mas, apa nggak berlebihan bila nanti kita mendirikan lembaga pendidikan? Ya semacam kursus gitu. Kursus bahasa Inggris” ujar Lia, suatu ketika.

“Buat apa sayang, mendirikan kursus? Kalau mau, kamu bisa bekerja di perusahaan orang-tua kamu. Toh, tanpa kerjapun kamu bisa hidup berkecukupan” candaku.

“Mas kan punya ilmu bisnis, aku punya ilmu kebahasaannya. Coba kalau kita padukan. Aku tidak mau hidupku bergantung kepada orang tuaku. Aku ingin rumah tangga kita nanti ditopang dengan hasil keringat kita sendiri,” ujarnya.

* * * * *

Entah ini pertemuan yang keberapa kali – yang sering berlangsung di rumah makan kesukaan Lia. Entah yang keberapa kali pula suasana indah selalu hadir bersamanya. Saat-saat seperti ini Lia dan aku bisa menyingkirkan rasa galau dan kelelahan atas rutinitas kegiatan sehari-hari.

“Ayo Lia, dimakan! Mau kusuapin....?”

“Bener nih mau menyuapi aku. Berani gitu?” jawab Lia, malah menantang.

Aku mengambil keratan daging lobster kesukaan Lia, dengan wajah sumringah ia melahap suapan itu.

”Nah, kalau ini pas bumbunya mas,” cetus Lia.

“Hmmm … nikmat sekali. Coba kalau setiap makan malam bisa bareng kamu … .”

”Kok sama! Aku juga ingin makan malam bareng mas, bareng anak-anak kita” katanya, memotong kalimatku, seiring dengan derai renyah tawanya yang menyembunyikan bola mata di balik kelopak mata berbulu lentik.

Obrolan di dalam perjalanan pulang berlanjut dengan cerita masa lalu. Sesekali tangan kiriku mengusap-usapnya lembut rambut Lia, layaknya sepasang remaja dimabuk cinta. Sesekali tertawa kecil. Perjalanan pulang yang hening serasa semenit, diakhiri dengan kecupan lembut di kening Lia. Aku ingin menyentuhnya lebih lama, selama yang aku mau. Lia memandang penuh arti, seolah ingin mengungkapkan rasa terimakasih atas kasih suci yang selama ini ia rasakan, sampai aku dengan sangat berat hati melanjutkan kembali perjalananku ke sebuah hotel di Jakarta Pusat menemui rekan bisnis.

Inilah rutinitas selama lima belas tahun karirku di Jakarta. Sebuah usaha menggapai fatamorgana kehidupan.

* * * * *

Semua bayang semu jenuh memenuhi rongga dadaku. Meluapkan kesadaran tentang kasih-sayang suci, yang sarat menyemburatkan semangat. Mendobrakkan kekuatan dahsyat. Memompakan adrenalin mengalir deras melalui pembuluh nadi.

Sepenuh tenaga menjejak pedal gas VW Golf GTI 2.0 Turbo 210 HP. Meraung-raung mengikuti alun teriakan kegembiraan yang berbondong-bondong keluar bersamaan dari sembilan lubang dan ribuan pori-pori tubuhku.

Tiang-tiang lampu, pepohonan di pinggir jalan dan gedung-gedung angkuh bak hantu-hantu berkejaran,

salip-menyalip cepat memampat menjadi dinding silhouette abu-abu.

contact-higher-self.jpg; diambil dari: google

Lupakan sejenak dilema persoalan kantor:

pertentangan antara terpaksa mendesakkan keserakahan kebendaan, atau memuliakan ketidak-relaan nuraniku.

Lupakan sejenak dilema persoalan hubungan:

pertentangan antara keinginan mereguk cinta suci yang diberikan oleh Lia kepadaku, atau memasrahkannya kembali bersetia kepada suami dan anak-anaknya.

Lupakan sejenak dilema persoalan duniaku sendiri:

yang sulit menerima kenyataan bahwa saat aku pulang nanti, istriku sedang menghabiskan Jum’at malam berfoya entah di cafe yang mana, sampai jam berapa, dengan siapa.

Lupakan sejenak dilema persoalan kekisruhan jalan di Jakarta:

memilih antara tetap di jalur protokol yang mulai lancar, atau memasuki jalan tol dalam kota yang lengang.

Lupakan sejenak:

jika bangunan beton kokoh padat pemisah antara jalan protokol dan tol itu ternyata mampu menghentikan laju mobil ini secara seketika. Benar-benar seketika......!!!

Seketika................

Seketika bahana berdentam berderak-derak keras di langit malam................

Seketika yang berubah sayup, tenang, hening, tanpa rasa perih, tanpa rasa takut................

Seketika yang mengantar sang sejatiku kembali kepada cahaya yang hanya ada di alam kedamaian......................

Inikah hampiran fatamorgana sejati yang abadi............????

* * * * *

Musik latar: ENIGMA – Sadness, courtesy of You Tube

Image          : contact-higher-self.jpg, google

PENULIS: @Lily Swadayanti & Budi Susilo (N0.44).

CATATAN TAMBAHAN:

Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Prosa Kolaborasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun