"Papah pulang, papah pulang cepat'" dua anaknya berteriak girang. Sementara seorang wanita menyambut di pintu. Senyumnya mengembang. Kendati penasaran, ia tak ingin mengusik suasana hanya demi menebus rasa heran.
Pada terbenamnya matahari, suasana berbuka di rumah mewah itu berbeda dengan biasanya. Keceriaan, sekaligus kecerewetan, anak-anak memenuhi ruang makan. Berhenti ketika azan berkumandang.
Putra-putrinya tampak lebih bersemangat menyantap hidangan pembuka, dan melaksanakan salat Magrib berjamaah diimami Ayahanda tercinta. Usai makan, mereka bergembira menuju masjid.
Dalam hati, sang istri mengucap syukur. Berkali-kali. Berharap bahwa kondisi menyenangkan ini bertahan lama.
***
Keriuhan reda. Anak-anak sudah lelap. Demikian pula sang istri yang tadi sempat berbincang sejenak, kini sudah menutup tubuhnya dengan selimut.
Rudolfo menyeruput kopi tersisa sedikit, menyisakan ampas di dasar cangkir, dan beranjak. Tidak menyusul sang istri di peraduan, tapi menuju lemari buku dan mengambil sesuatu pada bagian paling tersembunyi.
Ini dia, batin Rudolfo yang menggenggam kotak warisan yang sangat berharga. Perlahan ia membuka tutup. Sedikit keras, berhubung lama tak dibuka.
Dari dalam kotak terbuat dari kayu jati berwarna cokelat tua, Rudolfo mengambil secarik kertas terlipat rapi. Dengan saksama ia mengurai lipatan-lipatan. Jantungnya berhenti.
Sebuah tulisan membentang. Membuat terperangah. Merontokkan segala ego dan nafsu serakan menjadi serpihan-serpihan tiada guna.
Pada kertas yang mulai kekuningan tertulis harta paling berharga sebagai warisan dari orangtuanya. Huruf-huruf kapital yang ditulis sangat rapi dan dicetak tebal.