Tidak hanya berharga untuk membaikkan kehidupannya sendiri, tetapi apabila disebarkan kepada khalayak, harga terkandung di dalam harta itu akan mengubah keadaan negeri, menghadirkan damai yang membungkam segala kekacauan.
Bagaimana tidak kacau?
Hutan dilalap hingga gundul, mendatangkan banjir dan longsor. Beton jalan layang digerogoti, maka takada kendaraan angkutan berat berani melewati. Menara BTS di daerah terluar dilahap. KTP elektronik jadi camilan. Bahan Bakar Minyak dioplos menjadi minuman memabukkan. Minyak goreng diolah menjadi rumah dan mobil mewah.
Masih banyak. Banyak sekali bagaikan ombak menghantam pantai setiap malam, sehingga seorang konglomerat membuat hadangan abrasi dibantu oleh pegawai departemen-departemen pemerintah. Jika dituliskan, cerita ini hanya berkisah tentang kekacuan-kekacuan yang melanda negeri.
Banyak warga ..., tidak, tidak, tidak ..., semua warga terlibat dalam kekacauan, menurut porsi dan derajat posisinya di dalam hierarki sosialnya.
Pada jenjang warga tanpa pekerjaan atau usaha, timbul aksi premanisme. Pegawai tidak bekerja secara utuh, kendati mendapat gaji penuh. Pejabat pengadaan barang dan jasa bersekongkol dengan kontraktor. Pemborong mengurangi kualitas dan kuantitas pekerjaan. Kepala Daerah hingga Menteri mempermainkan aturan.
Tidak hanya itu. Aparat menjual rasa takut kepada yang diduga bermasalah. Anggota legislatif menyetujui rancangan aturan berdasarkan tebalnya amplop. Hakim menjual hukum. Dan seterusnya. Capek, ah!
Pemimpin negeri paling tinggi? Waktu dan tempat disediakan untuk berimajinasi.
Bagaimanapun, Rudolfo berada dan bersenyawa dengan struktur kekacauan, tanpa upaya dan daya untuk membebaskan diri. Semua orang tanpa terkecuali telah melembaga dalam suatu sistem yang terpola sedemikian rupa sejak lama, sehingga tiap-tiap orang memiliki ketergantungan satu dengan yang lainnya.
Keluar dari perangkat unsur-unsur yang saling berkaitan dan membentuk totalitas adalah, siap menjadi public enemy. Menjadi musuh bersama yang dianggap merugikan tatanan. Itu risiko berat yang harus dihadapi, jika menentang kekacauan yang berakar dan melembaga.
Rudolfo menatap pantulan gambar pemimpin negeri dan wakilnya dalam pigura. Mereka tampak menertawakan dirinya yang sedang bimbang. Di dalam dirinya muncul pergolakan batin, antara kehendak menyelesaikan pekerjaan secepatnya, agar ia segera membeli rumah dan mobil baru, dan keinginan tidak menekennya. Ingatan tentang warisan orangtuanya membuatnya ragu.