Bukan hal sulit di Kota Bogor menemukan usaha kecil penjualan menu sarapan yang menyediakan: nasi uduk, lontong sayur, mi glosor, bihun goreng, gorengan dan lainnya tergantung skalanya. Saus kacang pedas menjadi teman makan penganan tersebut.
Biasanya, hidangan sudah matang ketika di bawa ke lapak. Praktis. Pembeli tinggal memilih lalu menyantap makanan kesukaan tanpa perlu menunggu proses memasak. Konsekuensinya, gorengan sebagai salah satu barang dagangan menjadi dingin seiring dengan berjalannya waktu.
Namun, tidak demikan di lapak menu sarapan ini. Tersedia kompor dan pengorengan. Bila persediaan gorengan menipis, penjual segera menggoreng lagi tempe tempe berbalut tepung, bakwan/bala bala, atau bucang (sejenis bakwan berisi kacang dadap, bukan sayuran). Demikian seterusnya hingga bahan gorengan habis.
Maka, tidak sedikit orang mendatangi tempat berdagang tersebut. Sebagian pembeli menginginkan gorengan masih hangat, enak dimakan bareng rawit di tengah cuaca dingin. Aip, pemilik lapak, cukup jeli melihat peluang itu.
Aip memakai tempat milik kakak sepupunya, Mas Wiwi, sehingga bisa menyimpan peralatan di rumah tersebut. Menyewa atau ada skemanya bagaimana, mereka hanya tersenyum ketika ditanya.
Obrolan demi obrolan berlangsung seru. Tak terasa hari mulai siang. Terlihat Aip membereskan dagangan pagi yang tersisa sedikit. Menggantikannya dengan termos isi es, air mineral, gelas-gelas, cup sealer (mesin tutup gelas plastik), blender, wadah kaca, aneka bubuk minuman saset, dan cobek.
Rupa-rupanya, kegiatan berdagang berlanjut. Dari menjual penganan sarapan di pagi hari, ke penyediaan aneka minuman es, ketroprak, dan lotek sampai pukul 20.00 WIB. Dalam pengembangannya, Aip berkolaborasi dengan sepupunya, Endang.
Endang, perempuan single parent, mahir dalam pembuatan ketoprak dan lotek (aneka sayur matang yang diaduk bersama bumbu kacang ulek).