Petang itu saya tidak menghabiskan hidangan makan malam. Tidak seperti biasanya. Menyisakan, menyia-nyiakan, atau membuang-buang makanan layak konsumsi begitu saja adalah perbuatan buruk. Tak sampai hati membiarkan bersisa sekalipun satu butir nasi.
Cara saya menghindari perilaku membuang makanan adalah, mengambil makanan sesuai kebutuhan. Tidak didorong nafsu semata, yaitu mengambil hidangan karena serakah ingin melahap segala dan sebanyak mungkin.Â
Selanjutnya, mengecap tiap-tiap kunyahan dengan rasa syukur.
Namun, pada Selasa pekan lalu itu ada keadaan yang memaksa saya melakukan hal mubazir. Membuang makanan. Food waste!
Saat mulai bersantap, mulut terasa pahit. Sampai titik tertentu, sajian makan malam tidak dapat dilanjutkan dan mendadak menjadi sampah makanan. Perasaan sangat sedih menyergap.
Rasa pahit di mulut diikuti oleh demam yang dengan cepat menjalar. Mendung, Hujan. Udara dingin membuat gigil. Kepala kliyengan Bisa jadi terserang flu. Ke tempat tidur lalu menarik selimut rasanya nyaman.
Empat hari berturut-turut berselimut. Turun dari tempat tidur karena buang air, membersihkan diri pakai air hangat, dan makan bubur dan buah.
Membuka aplikasi WA hanya untuk menjawab sekenanya dan menghapus pesan. Saya tidak serius membaca pun menjawabnya. Â Tidak kuat berlama-lama duduk.
Buka Kompasiana? Buka, tapi tak satupun artikel di lini masa dibaca. Saya hanya membalas komentar seperlunya, berkunjung balik dengan membaca artikel sekadarnya. Tidak benar-benar membaca. Puyeng. Maafkan saya.
Selama itu saya bertanya-tanya, sakit apa? Demam berkurang. Tidak ada pilek --kecuali pengaruh udara dingin-- dan batuk yang biasanya mengikuti penyakit flu. Rasa pahit tidak segera menghilang.