Ubi kayu tampak baru dipetik, pada kulitnya masih terdapat sisa tanah basah. Mereka diantar oleh petani (atau tengkulak) dari kebun di Ranca Bungur, satu kecamatan di Kabupaten Bogor berjarak 10kilometer dari lokasi warung/penjual singkong tersebut.
Penjual membeli dua kuintal singkong dengan harga Rp2.700 per kilogram, menjualnya kembali Rp6.000 per kilogram.
"Lumayan. Tiga, empat hari bisa habis"
Menurutnya, warga sekitar daerah ini (Gang Pasama, Kota Bogor) menggemari ubi kayu. Singkong goreng menjadi penganan teman minum kopi sambil nonton bola. Camilan murah.
Tidak hanya digoreng, singkong enak diolah sebagai santapan lain: timus (ketimus, lemet; singkong parut dicampur gula merah, dibungkus daun pisang lalu dikukus), comro (singkong parut isi tumis oncom), misro (jemblem; singkong parut isi gula merah), tape/peuyeum, dan sebagainya.
Penjual singkong satu lagi memasuki warung, membawa 5 atau 6 batang umbi, dan menyerahkannya kepada pemilik warung, "Coba'an. Digoreng bakalan ngepruy." (Silakan coba. Sesudah digoreng akan terasa pulen, empuk dan enak).
Pemilik mengupas kulit singkong, membersihkan, memotong, dan mencemplungkannya ke dalam minyak panas.
Tidak dibumbui atau ditambahkan garam, baik sebelum maupun sesudah matang. Setelah agak kecokelatan, singkong goreng ditiriskan sekalian menunggu suhu menurun.
Semua orang di warung mengambil singkong terhidang.
Gigitan pertama mengonfirmasi bahwa singkong hangat itu benar-benar pulen. Di lidah muncul rasa sedikit manis bercampur gurih. Tidak mudah menghentikan kunyahan hingga habis.
Penasaran, saya mengambil lagi satu potong. Lumatan kedua tidak lantas mengurangi sensasi rasa yang pertama kali didapat.