Sinar matahari mengintip samar dari timur. Hening. Sekumpulan burung gereja di lapangan mematuk butir-butir gabah tercecer.
Baskoro mengetuk bola berlapis jaring logam yang ditopang silinder mengerucut sewarna kelabu, meniupkan angin dari mulut menjorok, "Sssh ...! Cekson (dengan penekanan pada huruf 'c'). Tes, tes, tes, satu, dua, tiga."
Burung-burung terkejut. Sayap-sayap mengepak. Kaki-kaki mungil mereka mengapit ranting-ranting pohon.
Sembilan puluh sembilan warga yang berkumpul di lapangan mendengar jelas, berkat pengiriman sinyal tata suara ke sejumlah kotak pengeras bunyi, yang ditetakkan pada tiap-tiap bagian lapangan dalam jarak sekian meter.
Berdiri pada mimbar di tengah panggung, Baskoro mengucapkan salam, menyebut nama-nama, dan secara panjang lebar mengutarakan pikirannya.Â
Intinya begini, "Termasuk saya, semua agar mengolah kekayaan bumi di wilayah kita sebanyak-banyaknya demi mencukupi kebutuhan pangan kita."
Sembilan puluh pasang telapak tangan saling menampar, disertai bahana menyambut gembira ajakan tersebut.
"Kedua," Baskoro berdeham, "Tidak ada lagi satu pun bahan pangan dari luar. Artinya, mulai saat ini berhenti makan roti, mi, tempe, tahu. Sebaliknya, tiada lagi bahan pangan keluar dari wilayah ini dengan cara apa pun."
Warga bersorak-sorai riang menyambut imbauan.
"Terakhir, jumlah uang beredar di wilayah ini sebesar sepuluh juta rupiah, dengan distribusi berasaskan keadilan bagi semua."