I-ni Bu-di,
I-ni ba-pak Bu-di,
I-ni I-bu Bu-di,
I-wan A-dik Bu-di,
Wa-ti Ka-kak Bu-di.)*
Bunyi mulut Bu Utari --guru membaca di kelas sebelah-- lantang memasuki saluran pendengaran Budi, yang sedang mengikuti pelajaran berhitung. Pengenalan kepada angka-angka, berikut cara membuat mereka menjadi tambah banyak, tidak seluruhnya masuk ke kepala Budi.
Perkataan Bu Utari lebih mengetuk-ngetuk kepala. Selintas, bercampur aduk dengan sumpah serapah bapak Budi pagi tadi. Ingatan kepala kecil anak berusia 7 hingga 8 tahun itu terbang mengitari awan-awan, melayang-layang, lalu terjerembap mendengar teguran halus Bu Rahmi --guru berhitung.
Sementara, suara sirene bersahut-sahut makin dekat dan mendekat. Barisan lars melompat dari bangku kayu hitam memanjang di mobil bak terbuka. Berderap beraturan menuju deretan kelas. Penjaga sekolah menganga tidak sempat berbuat apa-apa.
Di halaman sekolah menggema sebuah suara keras, "Mana yang namanya Utari?"
Selembar kertas melambai-lambai di tangan seorang pria yang mengenakan topi komando. Pasukan berseragam dengan sejata lengkap berjajar rapi di sebelah kirinya.
Kepala sekolah belum ada waktu mengenakan alas kaki tergopoh-gopoh keluar dari ruang guru. Mengikuti di belakang adalah kepala tata usaha yang kacamata tebalnya melorot, selalu melorot dan tertahan punggung hidungnya.
Pak Atmo biasanya ditakuti para murid dan guru. Kini pemimpin lembaga pendidikan itu menjadi kerupuk baru digoreng, yang tiba-tiba dicelupkan ke kuah soto Madura.
"A ... apa ini?"
"Ada surat perintah penahanan Utari! Guru di sini?"
"Be ... betul. Se ...sedang mengajar," kepala dari kepala sekolah celingukan.
"Hentikan pelajaran, bawa ia ke sini!"
"Tapi ...."
"Mau ngelawan? Bawa sini, buruan ..!!!"
Kumis Pak Atmo bergerak cepat, memerintah si kacamata tebal. Tak lama, kepala tata usaha menarik lengan Bu Utari yang masih memegang batang berwarna putih.