Selagi berbincang seru dengan sesama pembeli, seorang lansia berjalan tertatih-tatih memasuki kedai penjualan penganan sarapan. Kepada sang penjual ia memesan lontong sayur.
Kemudian pria tersebut menyerahkan mangkuk isi masih tersisa dan mengisyaratkan: ia sudah selesai makan. Suaranya terbata-bata cenderung tidak jelas, kecuali kita benar-benar mendekatkan daun telinga ke arahnya.
Aip, penjual penganan sarapan, menerangkan bahwa Pak Umar --pria lansia itu-- dulunya takmir masjid sekitar. Setahun lalu ia terkena serangan stroke.
Penanganan terlambat membuatnya cacat permanen, lemah di badan sebelah kiri. Bicaranya pun belum begitu jelas.
Pak Umar sering datang ke kedai. Satu kesukaannya lontong sayur, meski ia tidak selalu menghabiskannya. Mungkin keinginan jajan dan menyantap yang gurih-gurih mendera dalam jiwa.
Saya merasakannya. Dokter menyarankan makan tidak dengan dengan garam, menghindari makanan-minuman olahan pabrik, menjauhi makanan yang berlemak jenuh, dan sebagainya.
Saya sesekali menyelinap, keluar dari kerangkeng makanan hambar. Ada saat-saat melahap makanan digoreng, terasa gurih, dan yang enak-enak, asalkan tidak berlebihan.
Berbincang dengan Pak Umar, pria berusia lebih dari 70 tahun itu mengaku tidak melanjutkan pengobatan setelah perawatan. Ia tidak menjelaskan alasan dan ikhtiar yang sekarang dilakukannya.
Saya menyarankannya untuk konsultasi lagi ke dokter saraf, bukan pengobatan alternatif, untuk penanganan pasien setelah terkena serangan stroke.
Stroke merupakan keadaan macetnya aliran darah ke otak sebab sumbatan atau pecahnya pembuluh darah. Faktor risikonya bisa dari tekanan darah tinggi (hipertensi), diabetes, kolesterol dalam darah, benturan di kepala, dan sebagainya.