Setelah olahraga jalan kaki sekitar tiga puluh menit, tiba saat untuk sejenak mengistirahatkan badan di sebuah kedai penjualan penganan.
Lapak penjualan penganan sarapan itu menempati carport sebuah rumah lawas. Emper yang sepertinya lama tidak terpakai.
Di atas lantai semen dan di bawah atap kanopi terletak meja-meja untuk memajang aneka gorengan dan jajanan, bidang datar tempat meletakkan kompor dan peralatan lainnya, serta meja dan kursi.
Saya memesan kopi Liong seduh tidak diaduk, mencomot dua potong tempe goreng. Â
"Beli di mana?" Saya menunjuk bangku terbuat dari jati Belanda yang mengilap baru dipelitur.
"Bikin sendiri," terang pria yang sedang menggoreng bucang (kacang jogo dicampur tepung).
Aip --panggilan si penjual-- sendiri menyiapkan bahan, membumbui, menggoreng, hingga melayani pembeli. Pria usia 43 tahun itu membuka usaha penjualan penganan untuk sarapan setelah lebaran Idul Fitri lalu.
Sebelumnya, ia berusaha di bidang percetakan (sablon). Namun, periode pandemi covid-19 meluluh lantakkan usahanya. Setelah mencoba peruntungan di usaha lain, maka bisnis kuliner menjadi pilihan yang bertahan sampai hari ini.
Beberapa pembeli membungkus penganan untuk dimakan di rumah mereka masing-masing. Empat pembeli memakannya atau menyeruput kopi di tempat, termasuk saya.
"Susah banget, ya, nyari duit di zaman sekarang," satu pembeli nyeletuk.