Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Binar Mata yang Membuka Jendela Dunia

27 September 2024   06:04 Diperbarui: 27 September 2024   06:04 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Telapak tanganku menutupi kepala mungilnya dari cahaya menari-nari cerah ceria membakar dunia. Ruang lebih tinggi dari bumi berkobar. Ujung jalan di sana yang merupakan tujuan akhir perjalanan sedang mendidih, mencair, berkilau-kilau, dan udara di atasnya bergetar.

Belok kiri terdapat bangunan dua lantai yang tiada pernah letih menunggu pengunjung, sekalipun tiada pungunjung. Gedung yang sekilas tampak rapuh digerogoti usia. Kini, pohon jambu --yang buah dan daunnya berserak-serak-- memayungi halamannya sebagai penyejuk.

Ke gedung itulah kini aku hendak menjumpai kenangan indah bersamamu.

***

Pada waktu itu, di dekat pohon jambu yang bahkan belum bisa berbunga, dan pada sebuah bangku taman kamu berkata kepadaku, "Jika ingin menjumpaiku, masukklah! Aku menghabiskan banyak waktu dengan membuka jendela dunia di gedung ini."

"Jendela dunia ...?'

"Ikut masuk! Engkau akan mengerti."

Bagai kerbau dicocok hidung aku mengikuti langkahmu menaiki anak tangga satu demi satu, menapaki lantai teraso klasik warna abu-abu, melewati dua daun pintu jati yang mementang lebar, lalu mengisi buku di hadapan penerima tamu berkacamata tebal yang duduk kaku.

Sambil menunggu kamu menuliskan sesuatu, mataku berkelana. Memandang langit-langit tinggi. Mengagumi bukaan yang mengalirkan angin sejuk dari pohon-pohon, juga menyalurkan cukup cahaya siang ke ruangan tenang bebas dari hiruk-pikuk dunia.

Berada di dalamnya terasa sejuk yang asing. Ditambah, aroma asap bercampur bau mirip kulit menerpa hidungku. Aku mengira, aroma bersahaja itu berasal dari deretan rak berwarna cokelat tua yang membentuk lorong-lorong. 

Bahan mereka sepertinya serupa dengan meja, kursi, dan lemari di rumah kakek nenekku.

Indra penciuman menyentuh bebauan. Butuh waktu agar ingatan dapat menerjemahkannya. Bau khas. Mungkin senyawa kimia. Barangkali bau perekat kertas dan tinta. Hidung juga menangkap bau usang yang menua.

Tak cukup waktu bagiku untuk mengenali mereka, karena aku harus mengikuti langkah kamu penuh percaya diri menuju lemari tak berpintu. 

Di antara penyanggahnya terdapat papan-papan yang diletakkan mendatar, bersusun-susun dari bawah ke atas. Pada tiap-tiap kepingan melintang itu tersusun rapi dan berjejer lembar-lembar kertas yang berjilid.

Masing-masing diikat menjadi satu kesatuan menggunakan kertas yang lebih tebal dibanding lembaran di dalamnya. Pada satu sisi paling sempit dari sampul tercetak untaian huruf yang menyatakan judul. Melalui pembacaan pada mereka, maka kamu mengambil salah satu dan mengapitnya dengan dua tangan lentikmu di dada.

"Jangan cuma mengekor, pilih yang engkau minati. Ditunggu di sana," runcing dagu yang memperlihatkan kelembutan wajahmu mengarah pada meja di sebuah sudut dekat jendela.

Aku sendirian. Celingak-celinguk mengamati apa yang akan aku pilih. Sebetulnya, di ujung atas jalan kecil di antara rak tergantung tulisan yang menunjukkan penggolongan. Tidak sulit memilih, tetapi aku tidak punya rencana untuk memilih salah satu sebagaimana yang kamu lakukan tadi.

Aku mengamati, mengambil "Tangkaplah Daku Kau Kujitak" yang aku mengerti telah menjadi perbincangan di antara teman-teman, lalu menuju meja di mana kamu tenggelam dalam duniamu.

Mengikuti caramu, aku membolak-balik halaman. Kamu masih asyik membaca, sesekali menuliskan kalimat pada sebuah catatan, dan memperlakukanku bagai patung 'Selamat Datang' Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.

Apes tenan. Baiklah. Kembali ke halaman pertama, aku mulai menerka kata demi kata. Kalimat demi kalimat. Tanpa terasa aku memasuki dunia petualangan. Aku sesekali tersenyum. Kadang tertawa.

"Suka membaca Hilman?" suara lembutmu membubarkan pengembaraan di dalam kepala.

"Ak ..., aku ..., aku baru kali ini membacanya."

"Maka, sering-seringlah engkau membuka jendela dunia sekalipun aku tak di sini," mata beningmu berbinar.

Dengan tetap merendahkan suara, kamu mengatakan bahwa novel itu isinya bagus dan menyarankan agar aku menuntaskan membaca.

Selesai melihat apa yang tertulis, kamu dan aku antusias berdiskusi tentang tokoh Lupus yang jenaka, juga mengenai isi buku yang telah kamu baca. Mataku menancap pada cara berbicara yang menunjukkan pengetahuan luas dan, tentu saja, wajahmu yang bercahaya.

Jujur saja, aku mengikuti ke tempat ini bukan lantaran hendak mencari bacaan. Bukan menelusuri rak-rak kayu untuk menemukan beragam buku, dari yang berisi pelajaran dan pengetahuan hingga yang berisi kisah fiksi.

Buku terpilih bisa dibawa pulang, jika menjadi anggota dan mencatatkannya pada petugas. Pastikan buku dikembalikan sebelum waktu pinjam berakhir. 

Atau, boleh membacanya di meja-meja yang telah disediakan. Berdiskusi dengan teman, asalkan jangan mengeluarkan suara terlalu keras yang dapat mengganggu pengunjung lainnya.

Bagi yang memerlukan suasana tenang untuk mendapatkan pengetahuan tanpa kekurangan bahan rujukan, tempat adem itu untuk memusatkan perhatian pada penyelesaian tugas-tugas.

Bagi sebagian penulis, ruang di dalam bangunan kokoh tersebut menjadi ruang membaca banyak hal, yang bisa saja menumbuhkan gagasan-gagasan cemerlang.

Jadi, ia menjadi semacam lembaga dengan beragam pengetahuan dan cerita yang tercetak dan tersusun secara logis agar mudah ditemukan. Dilengkapi dengan pedoman, rambu, kartu katalog, buku induk, dan sebagainya.

Aku datang ke sini bukan untuk membaca atau meminjam buku, melainkan semata-mata ingin berdekatan denganmu. Hatiku, bukan pikiranku, ingin menghampiri demi menyampaikan sesuatu yang sudah lama kupendam.

Sepertinya, kamu mencintai huruf-huruf berlompatan riang pada helai-helai lebih dari apa pun. Aku pun tak bermaksud merusak konsentrasimu dengan pertanyaan membingungkan. Lebih baik aku bungkam dan tak puas-puasnya mencuri pandang padamu.

Pada waktu-waktu berikutnya, aku mencari kamu di tempat ini. Tidak perlu memutar angka pada perangkat komunikasi di rumah atau di bilik telepon umum. Aku tahu persis, dalam banyak waktu kamu ada di sini sedang membaca.

Aku pun akan memilih tidak hanya buku fiksi, tetapi kitab berisi pengetahuan yang berhubungan dengan mata kuliah atau buku apa saja.

Seperti biasanya, usai menutup buku, kamu dan aku berdiskusi penuh semangat. Aku menyadari, cakrawala pengetahuanku makin terbuka dan makin mengagumi kecerdasanmu.

Entah terpengaruh oleh Kahlil Gibran atau Sapardi Djoko Damono, pada satu kesempatan aku menyampaikan maksud yang sudah lama terpendam dengan sepenuh hati. Menurutku, aku mengucapkannya dalam cara paling elegan dan romantis

Saat itu juga aku menyaksikan keindahan yang seketika merona pada wajahmu. Bibir tipis kamu merekah indah, yang sempat menerbitkan gagasan melumatnya. 

***

Dengan melipat dua lutut dan bertumpu pada telapak kaki yang berjinjit, aku berdoa sepenuh hati. Matahari mulai mencolek ubun-ubun. 

Sebetulnya, ingin berlama-lama di sana. Namun, aku harus melakukan sesuatu. Aku berdiri. Menarik napas panjang. Diam sebentar, selanjutnya meraih tangan mungil di sampingku.

"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat di mana engkau bisa membuka jendela dunia. Tempat kesukaan ibumu."

Kepala berambut poni menghadapkan muka ke atas. Mata beningnya berbinar. Sejenak aku ingat kepadamu. Bibir tipis bidadari kecil itu bergerak, "Jendela dunia ...?"

"Ya!" Aku merendahkan suara, "Ya, ... jendela dunia."

Sekelebat muncul bayangan. Tersenyum di atas gundungan tanah, yang berhamburan bunga-bunga wangi bercampur irisan daun pandan.

***

Biodata Singkat: Bukan sastrawan. Bukan cerpenis. Hanya tukang tulis di bawah pohon manggis pada tepi jalan Kota Bogor.

Foto Diri (dokumen pribadi)
Foto Diri (dokumen pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun