Teman-temannya mengerti.
Lambaian tangan yang kemudian rebah ke depan serempak menggerakkan kawanan berseragam. Mereka berlarian sambil menyeru. Menyerbu sekumpulan orang di sekitar warung dengan mengangkat celurit, kelewang, golongan, gir sepeda yang dilas pada rantai, dan pelat besi panjang yang ujungnya dipanaskan serta dipipihkan.
Tentu saja yang paling depan adalah Fairel. Dengan semangat membara ia mengacungkan bambu runcing kuning gading.
Belasan remaja di sekitar warung terkejut tiada terkira menyadari munculnya serbuan seketika dan tiba-tiba.
Sejenak mereka terpana, tetapi dengan sigap meraih peralatan di bawah meja, di balik jok motor, dan dalam semak-semak berupa samurai, tombak, busur panah, celurit, dan... bambu runcing!
Dua kelompok remaja bertemu dalam amarah membabi buta. Teriakan. Kepulan debu. Logam beradu dengan logam. Benturan demi benturan. Tusukan diikuti tusukan. Cucuran darah. Tubuh bergelimpangan.
Para remaja sama-sama berseragam celana abu-abu baju putih centang-perenang saling bertempur. Perbedaannya, hanya tulisan yang menyatakan lokasi pada badge di bagian lengan masing-masing.
***
Biodata:Â
Bukan Sastrawan. Bukan Cerpenis.
Hanya tukang tulis
di bawah pohon manggis
tepi sebuah jalan di Kota Bogor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H