Ada kala pada malamnya Yogyakarta saya gagal menaati tutur lembut nenek, "Makan harus habis. Kalau tidak, petani menangis."
Setiap makan, makan apa saja kecuali daun pintu dan jendela, saya menghabiskan isi piring sampai ke butir penghabisan. Dalam keadaan tidak sehat pun makanan disantap bersih, asalkan porsinya tidak berlebihan.
Namun, sepuluh tahun lalu ketaatasaan atas nasihat nenek sempat runtuh. Begini kisahnya.
Bersama teman-teman saya tiba di Yogyakarta melewati jam makan malam. Badan lelah ditambah perjuangan melawan pemberontakan perut.
Teman yang mengenal setiap tikungan di Kota Perjuangan memandu jalan, menembus gang, berhenti di sebuah rumah sederhana. Memasuki rumah khas menuju ruang lumayan luas berisi tungku kayu bakar dan meja. Rupa-rupanya rumah merangkap tempat makan.
Baiklah. Mengikuti teman-teman, saya memesan gudeg yang menjadi keistimewaan rumah makan tersebut. Sepiring nasi gudeg lengkap dengan telur bulat terhidang di hadapan.Â
Dengan Basmalah tanpa tolah-toleh saya menyendok sajian. Sejenak mengunyah, berhenti. Menelan sebisanya sisa hidangan yang bagai gula merah.
Saya meletakkan sendok garpu, lalu memesan ayam semur. Memasukkan sesendok nasi dan potongan ayam, saya berhenti lagi. Berasa kolak ayam.
Jadinya saya makan merahnya telur bersama nasi putih tertinggal belum terkontaminasi manisan.
Seumur-umur baru kali itu saya menyisakan makanan di piring.