Sebelum tiba giliran mengisi bab kosong, malam-malam menjadi gelisah. Sebuah tanya berdentam, bisakah saya yang abal-abal berperan di antara penulis andal?
Tidak sekalipun tebersit di benak saya untuk bikin novel. Menulis 1.000 kata saja napas tersengal-sengal, mata terbakar, kepala berasap.
Maka dari itu, umumnya tulisan non-fiksi dan fiksi yang saya unggah ke Kompasiana berkisar 500 kata. Hanya satu dua artikel sampai seribuan kata.Â
Sebuah tantangan menulis panjang menghampiri. Tahun 2021, bulannya lupa, Widz Stoops mengajak saya bikin novel keroyokan.Â
Keroyokan? Iya, bikin prosa panjang bareng penulis lain. Saya mengenal sebagian penulis, sehingga percaya diri untuk mengisi satu bab novel inisiatif Kompasianer yang bermukim di Amerika itu.
Jumlah penulis dalam proyek ambisius tersebut mengerucut menjadi 33 orang. Latar belakangnya beragam. Berasal dari Indonesia dan luar negeri. Sebagian adalah Kompasianer.
Perbedaan lokasi dan waktu bukanlah masalah. Grup whatsapp dibuka sebagai ruang komunikasi.
Khrisna Pabichara menggubah awal kisah pada bab pertama. Beliau membabar gagasan mengguncangkan dengan alur cerita panas, yang kemudian menjadi pijakan bagi penulis berikutnya dalam menggores pena.
Penyair, pembaca puisi, dan penulis kawakan ini kelak menjadi penyunting (editor) novel itu.