Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menanti Turunnya Harga Beras, Beban Sudah Berat Nih!

28 Februari 2024   20:09 Diperbarui: 1 Maret 2024   09:01 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Warga rela mengantre di operasi pasar murah beras, demi mengurangi tekanan pengeluaran rumah tangga (ePaper Kompas edisi 28/02/2024).

Artikel berjudul "Warga Incar Operasi Pasar, Buru Beras Murah" itu menyebut, harga beras selangit membuat warga di sejumlah daerah menyerbu operasi pasar murah yang digelar pemerintah.

Mereka rela antre demi mendapatkan beras dengan harga lebih murah dibanding dengan pasaran. Selisihnya sekitar Rp5.000 per kilogram.

Perbedaan itu tidak berarti bagi para pejabat, yang sembari melahap nasi dari beras premium paling mahal minta masyarakat agar makan ubi, singkong, dan sumber karbohidrat lain sebagai pengganti nasi. Tidak demikian bagi rakyat kebanyakan. Lima ribu per kg adalah jumlah besar.

Nilai itu semakin menambah tekanan dalam mengelola pengeluaran rumah tangga, setelah didera kenaikan harga komoditas lainnya. Beban hidup tambah berat.

Obrolan ringan dengan penjual penganan sarapan (nasi uduk, lontong sayur, gado-gado, gorengan) dan seorang pembeli pada pagi yang mendung mengungkap: kenaikan harga bahan pangan memberikan tekanan berat, yang pada saatnya akan menimbulkan kekacauan.

Bagaimana ceritanya?

Penjual mengeluhkan kenaikan harga bahan pangan, sementara ia menjual produk dengan harga tetap. Harga beras premium untuk bikin lontong Rp16.000 per liter (setara dengan Rp21.000 per kg).

Untuk nasi uduk bisa diakali dengan mencampur beras premium dan beras medium (harga Rp13.000 per liter ekuivalen Rp17.000 per kg). Harga bahan-bahan seperti cabai, telur, dan lainnya ikut-ikutan merangkak naik.

Sebelumnya ia membawa Rp300.000 untuk modal belanja, sekarang sedikitnya Rp400.000. Emak penjual nasi uduk terpaksa mengurangi keuntungan, tidak berani menaikkan harga barang dagangan.

"Bisa-bisa pelanggan kabur."

Ia hanya berharap, harga-harga bahan turun. Beban akibat kenaikan harga dirasakan sangat memberatkan.

"Tidak peduli siapa pun yang terpilih jadi presiden, pokoknya harga-harga turun."

Pembeli yang baru saja mengosongkan porsi lontong sayur menimpali, "Tidak mungkin Mak. Sekalinya harga beras naik tidak bakal turun lagi."

Dengan muka serius pengemudi kendaraan ojol itu berkata, bahwa tekanan terus menerus dapat menyebabkan kekacauan.

Ia menyampaikan argumen, tekanan akibat kenaikan harga tidak terkendali ditambah perut lapar membuat orang kehilangan rasa takut. Mereka kemudian melakukan perlawanan meruntuhkan keadaan sulit.

Terlintas di benak saya tentang sifat pegas, semakin kuat tekanan pada pegas semakin kuat pula tingkat perlawanannya.

Mengutip dari kompas.com, kian besar tekanan diberikan pada pegas, kian besar pula gaya pegas (gaya pemulihan). Gaya pemulih/pembalik bekerja dalam arah berlawanan dengan tekanan diberikan (sumber).

Bisa jadi ada benarnya.

Menurut saya, bukan perlawanan sebentuk pemberontakan terhadap tatanan berbangsa dan bernegara yang ada, tetapi pertarungan menghadapi situasi tidak mengenakkan dengan cara-cara positif.

Menghadapi kenaikan harga beras yang tidak terkendali dengan, antara lain:

  • Meminimalkan food waste. Misalnya, ambil makan dengan takaran sesuai kemampuan lalu menghabiskannya.
  • Mengonsumsi secara bergantian antara nasi dan makanan pengganti beras.
  • Membiasakan lagi dengan makan sumber karbohidrat lokal seperti singkong, talas, sagu, ubi, jagung, dan sebagainya.

Menurut hemat saya, itu bentuk perlawanan yang bersifat positif.

Mengutip antaranews (sumber), di sisi lain pemerintah menetapkan strategi turunkan harga beras dengan:

  • Peningkatan distribusi beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan).
  • Memberi bantuan kepada petani untuk segera tanam.
  • Menyalurkan bantuan pangan beras Januari-Juni 2024.
  • Menggelar gerakan pangan murah di berbagai lokasi.
  • Impor 2 juta ton beras untuk mengatasi defisit beras nasional Januari-Februari 2024.

Pertanyaannya, apakah harga beras turun dalam waktu dekat ini?

Daripada menanti-nanti turunnya harga beras, sekarang lebih baik melakukan upaya yang sedikit banyak mengurangi pembelian komoditas tersebut.

Di rumah, dari sejak beberapa waktu lalu keluarga saya mulai membiasakan diri sarapan olahan tepung sagu. Sesekali diselingi makan pagi ubi jalar oven, singkong rebus, talas kukus.

Pangan lokal berharga relatif terjangkau itu dimakan bersama telur, sup, atau masakan pendamping lain.

Demikian satu upaya yang saya lakukan menghadapi situasi kenaikan harga beras yang tidak terkendali pada saat ini. Kebiasaan itu akan berlanjut, kendati kelak harga beras memang turun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun