Bahkan hingga wajah langit timur berangsur-angsur memerah, suara seruan melakukan salat tidak juga menggema di seantero penjuru kota. Subuh yang sunyi.
Bukan karena listrik padam sehingga sistem pengeras suara masjid-masjid kehilangan daya.
Bukan pula sebab para penyeru azan kompak pingsan bersamaan, atau bersatu mengadakan aksi tutup mulut. Tiada satu pun orang waras pernah berpikir untuk memboikotnya. Itu satu perkara yang tidak dapat diterima oleh akal.
Suara menghilang juga dialami para ibu rumah tangga, ketika membangunkan anak-anak remajanya dari lelap. Emak-emak telah menarik urat leher, namun tiada bunyi keluar dari mulut mangap.
Gedoran pada daun pintu tidak membangkitkan. Cara lain, ayunan sapu lidi memecut tubuh meringkuk dalam selimut. Lebih parah, lemparan air dalam gayung membuyarkan mimpi basah remaja.
Erangan. Gerutuan. Apa pun jenis protes keluar tanpa suara, kendati dada remaja malang sekuat tenaga memompa.
Pagi berjalan tanpa suara manusia-manusia. Nihil suara dalam percakapan antar tetangga, pembeli dan tukang sayur keliling, tukang becak dan pelanggan, hingga transaksi jual beli di pasar tradisional.
Kota itu telah kehilangan suara manusia.
Kecuali bunyi-bunyian dari semesta: kokok ayam jelang matahari terbit, kicau burung, desir angin, riuh di hutan, dan pokoknya segala nyanyian alam.
Pun raungan mesin bakar dan letusan knalpot bisa terdengar. Jadi suara kerja mesin, denting gelas, bunyi sendok garpu beradu, dan semua ketukan mekanis masih dapat ditangkap telinga.