Jumat baru lalu saya menjadi pembicara tunggal dalam satu zoom meeting. Berlaku sebagai  narasumber berkat menulis di Kompasiana.
Beberapa hari sebelumnya, seorang teman lama --sebutlah namanya Mr. B-- menelepon. Ia terkesan setelah membaca artikel-artikel saya tentang stroke.Â
Sebelumnya saya memberikan tautan artikel terkait stroke yang tayang di Kompasiana.
Mr. B merasa, apa yang saya tulis bagus bila dibagikan kepada teman-temannya melalui zoom meeting. Sejenak timbul pertentangan di dalam batin, mampukah saya berbicara di depan orang banyak?
Satu, mengingat kemampuan berbicara saat ini kurang bagus. Dua, menimbang bahwa pengetahuan tentang stroke dengan mudah dapat ditemukan melalui mesin pencari.
Mr. B terus mendorong. Menurutnya, betapa berharga apa yang telah saya tuliskan jika dibagikan kepada teman-temannya. Lalu ia memberikan perkiraan waktu penyelenggaraan pertemuan virtual. Mau tidak mau saya harus committed.
Saya pun membaca ulang artikel-artikel. Menyegarkan kembali pikiran dan merancang ihwal yang akan disajikan dalam pertemuan.
Artikel saya di Kompasiana mengisahkan tentang pengalaman sebelum dan setelah terkena serangan stroke. Hal itu memudahkan saya dalam merancang pokok pembicaraan.
Saya hanya perlu mengulang cerita dalam format lebih singkat, padat, dan langsung pada pokok bahasan. Hanya sedikit menyentuh pendekatan medis.
Telekonferensi secara live selama satu jam berlangsung lancar dalam suasana hangat. Tersedia cukup waktu untuk tanya jawab.