Saya mengelola sebuah restoran di Kebayoran Baru Jakarta Selatan yang menawarkan masakan Barat, Oriental, dan Indonesia.
Berkapasitas duduk 250 orang, ia memberikan atmosfer nyaman bagi pengunjung dengan iringan musik latar (playback) dan musik hidup.
Oleh karena itu tempat yang disebut kafe, kadang orang menyebutnya sebagai club (tempat klabing/clubbing), memiliki 3 surat resmi:
- Izin restoran, menyediakan makanan dan tempat menyantap sajian.
- Izin bar, menjual minuman beralkohol legal (dengan cukai).
- Izin penyelenggaraan musik hidup.
Menyambut malam tahun baru, sekurang-kurangnya 3 bulan sebelumnya manajemen merancang acara malam tahun baru. Maklum, biasanya tarif artis atau band penampil akan melonjak mendekati akhir tahun. Paling sedikit 3 kali lipat.
Izin keramaian diterbitkan khusus oleh Dinas Pariwisata dan Kepolisian untuk acara New Year's Eve. Waktu itu "biaya" pengurusanya pun khusus. Mudah-mudahan sekarang tidak ada.
Pengelola menerbitkan tiket khusus malam tahun baru bagi pengunjung untuk masuk ke kafe, termasuk menikmati set menu dan sajian hiburan.
Tiket bernomor didaftarkan dan diperforasi di Dinas Pendapatan Daerah. Kelak pada akhir acara langsung diperiksa oleh Tim Gabungan (Dinas Pendapatan, Dinas Pariwisata, Dinas Trantib, dan aparat).
Waktu itu, Pemda DKI Jakarta menetapkan tarif pajak hotel dan restoran (PHR, dulu PB1), sebesar 10% untuk penjualan di hari biasa. Sedangkan khusus untuk penjualan tanggal 31 Desember dikenakan tarif 15%.
Tiket malam tahun baru termasuk set menu, yang dirancang berbeda dengan hidangan pada hari biasa. Lebih luks. Lebih eksklusif.
Memang tiket masuk dijual dengan harga tidak murah. Harga menu F&B tambahan dijual tiga kali lipat dari harga biasanya.
Harga mahal khusus tahun baru tersebut semata-mata untuk membiayai:
- Artis atau band penampil yang tarifnya melonjak tajam.
- "Biaya" pengurusan izin yang lebih tinggi.
- "Biaya tahu sama tahu" pada pemeriksaan oleh Tim Gabungan.
- Modal pembelian persediaan makanan minuman.
- Keuntungan.