Hanya karena soal ikan pindang, perempuan itu mengeluarkan kata-kata kasar. Dan aku pun ingin membalasnya dengan memaki.
Namun aku menahannya. Teringat kata guru mengaji, tidaklah pantas melukai hati wanita yang melahirkan kamu. Maka aku hanya menunduk seraya mengisap sisa nasi dan sambal yang berlepotan di jemari.
Pulang sekolah perut lapar nian. Tudung saji di atas meja makan tidak berhasil menutupi putihnya nasi hangat, merahnya sambal, dan sedapnya tiga ikan pindang goreng.
Aku begitu saja melempar tas. Membuka sungkup. Memindahkan nasi, ikan pindang, dan sambal ke piring.
Mengenal ikan pindang?
Ikan pindang diolah dari hewan yang berenang di laut hingga kedalaman 200 meter, dengan cara digarami dan direbus agar tahan disimpan lama.
Ikan pindang sangat populer di kalangan masyarakat. Harganya terjangkau dan rasanya sangat gurih. Cukup digoreng. Disantap bersama sambal.
Tanpa bicara tanpa cuci tangan aku memasukkan mereka ke dalam mulut. Gurihnya ikan pindang, lumayan pedasnya sambal, dan manisnya nasi merupakan kombinasi pas.
Perpaduan lapar dan enak membuat kalap. Sadar-sadar ikan-ikan pindang bersama sambal dan, entah dua atau tiga piring nasi, pindah ke dalam perut.
Ibu keluar dari dapur. Mukanya serta-merta merah padam dan memekik, "Dasar anak tidak tahu diri! Makan tidak menunggu Bapak dan habiskan lauk untuk semua. Pulang dari ladang, Bapakmu makan apa?"