Bermula dari saling like dan menanggapi status, hubungan di dunia maya itu pun makin akrab. Menyenangkan dengan pembicaraan yang terhubung. Nyambung, kata anak sekarang.
Anak muda ini memiliki akun segala medsos dan mengenalkannya kepadaku. Namun aku lebih nyaman bermain Instagram, yang kata anak-anak muda disebut: IG.
Anak muda itu pula yang mengajarkan cara bermain di IG, kendati aku masih demikian sulit memahami beberapa hal. Melalui IG pula aku banyak berbincang dengan anak muda itu, yang kemudian dilanjutkan dengan percakapan via WA.
Ia memang baik. Tidak tinggi hati. Tidak memperdulikan perbedaan zaman dan status. Santun.
Dan yang aku paling kagumi adalah cara berperilaku dan bertutur kepada orang yang lebih tua. Kata-katanya apik, tertata, terjaga, dan tidak berusaha memotong pembicaraan belum.
Anak muda itu pun tidak pernah ingin memaksakan pendapatnya kepada orang lain.
Aku harus akui bahwa dalam beberapa hal tidak bisa seperti itu. Aku ingin selalu didengar. Sering menyela apa yang tidak dimufakati. Emosional pula.
Makanya, ada beberapa butiran kecil padat yang harus aku minum setiap pagi dan sore. Demikian agar darah tidak terlalu cepat mengalir ke atas dan menjebolkan otak.
Mungkin penyakit orang dengan banyak makan asam garam --malahan terlalu banyak garam, sehingga membuat saluran darah tambah kaku menyempit pula.
Anak muda itu dengan caranya menceritakan banyak hal menggembirakan, yang kemudian aku sadari kisah-kisah dalam ceritanya merupakan nasihat halus kepadaku.
Menganjurkan sekaligus melarang makan ini itu, rajin berolahraga meski hanya jalan kaki memutari kompleks, dan jangan banyak-banyak memikirkan negara tanpa terbawa perasaan.