Saya punya kebiasaan janggal. Menyantap kerupuk yang sudah tidak berbunyi kriuk alias liat. Yaitu kerupuk melempem atau tidak mengembang sempurna.
Kalau masih baru, masih kriuk, kerupuk dibuat layu dengan mencelupkannya ke --misalnya-- kuah soto.
Sebelum diteruskan, saya sampaikan bahwa tulisan ini terilhami dari artikel anggitan Kompasianer Irwan Rinaldi Sikumbang, 5 Alasan Kenapa Kerupuk "Wajib" Ada di Meja Makan. Selanjutnya dapat dibaca di sini.
Kecenderungan makan kerupuk melempem boleh jadi merupakan keanehan bagi orang lain. Ketika di warung saya mengambil kerupuk kaleng umur lebih dari satu hari, yang sedianya hendak dikembalikan kepada pemasok.
Kerupuk dalam blek biasanya berbentuk bulat ukuran sedang berwarna putih atau kotak berwarna krem. Kerupuk kampung ini biasanya berada di dalam kaleng warna biru/merah dengan satu sisi berupa kaca.
Kebiasaan "buruk" itu tidak tumbuh tiba-tiba.
Seperti sebagian keluarga di Indonesia, di atas meja makan selalu tersedia kerupuk. Demikian pula di keluarga saya.
Ditarik ke usia SD, keluarga tinggal tidak jauh dari industri rumahan pembuat kerupuk matang.
Biasanya Bapak akan meminta saya untuk membeli langsung di tempat pembuatan sekaligus penggorengan kerupuk.