Saya lupa, kapan terakhir memotong rambut.
Ketika sosok di cermin menampilkan rambut yang sebagiannya beruban melengkung ke atas, maka saya menyusun rencana ke tempat pangkas rambut. Bukan ke barbershop dengan ruang nyaman berpendingin udara, modern, dan menawarkan beragam gaya potongan rambut.
Saya tidak memerlukan ruangan ber-AC untuk potong rambut. Selusup angin pagi sudah cukup. Hanya ada satu model yang saya rasa sangat cocok bagi saya, yaitu cukur habis sampai tampak mengkilapnya kulit kepala.
Dengan demikian saya merasa tidak berantakan, bersih dari uban, rapi, dan tampak segar. Lagi pula, potong rambut dengan satu jurus tersebut tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam.
Saya akan pergi ke tempat pangkas rambut Asgar (Asli Garut). Di Kota Bogor, umumnya tukang cukur tradisional adalah perantau dari Garut, Jawa Barat.
Kenapa orang yang mahir memotong rambut kebanyakan berasal dari Garut? Ntar saya tanyakan ke Engkong Felix Tani. Kalau ingat.
Dalam radius 1,5 km dari rumah ada beberapa pilihan tempat pangkas rambut. Saya akan menjadi pengunjung pertama dari tukung cukur rambut yang pertama terlihat.
Tukang cukur menggunakan alat potong rambut bertenaga listrik. Dengan ukuran nol, alias tidak memakai sisir/sepatu pengukur.
Setelah bersih, bagian-bagian ujung rambut dikerik menggunakan pisau cukur. Terakhir adalah pemijatan kening, ubun-ubun, leher, serta pundak.
Ongkos pangkas rambut tidak lebih dari Rp20 ribu. Itu tarif di Kota Bogor, ya. Kalau di barbershop kena tarif lebih dari itu dengan hasil akhir sama.
Beberapa hari belakangan saya punya rencana pangkas rambut. Berarti ada bagian rambut yang melengkung ke atas, alias panjang tidak karuan dan tidak rapi.
Berhubung rencana tersebut tidak diberi tanggal, maka ia tidak pernah menjadi action plan.
Selasa kemarin, saya mengurus penggantian kartu ATM. Umurnya 5 tahun lebih sekian hari. Masa berlakunya habis.
Tidak butuh waktu lama urusan selesai. Tidak jauh dari kantor cabang Bank pelat merah itu, saya melihat tukang pangkas rambut. Bukan berada di kios atau ruko ber-AC. Bukan.
Tukang pangkas rambut itu menempelkan cermin dan peralatan cukur pada sisi pagar sebuah rumah terbengkalai.
Lantai tanah tertutup serpihan rambut. Di bagian lain terdapat papan-papan tersusun untuk menutup selokan penuh sampah mengambang di atas air kehitaman.
Atapnya serupa tenda merah, dipasang pokoknya agar dapat mengurangi paparan sinar matahari. Juga sebagai penghalang pandangan dari luar.
Hawa sejuk ASE (Angin Semilir), bukan AC, campur debu berasal dari jalan beton, yang di atasnya melintas kendaraan roda dua dan empat. Meskipun tidak rindang, dua pohon di kiri kanan mengapit.
Dengan ciri-ciri di atas, bolehlah saya menggolongkannya sebagai tempat pangkas rambut DPR (di bawah pohon rindang).
Demi melihat tukang pangkas rambut, saya pun masuk lebih "dalam" dan duduk di kursi lipat. Tukang cukur menyampirkan kain, menutup tubuh saya agar terlindung dari repihan rambut.
"Model?"
"Cukur habis. Gak pake ukuran!"
"Siap," kata pak Soleh. Dengan sigap ia menggerakkan hair clipper yang bergetar.
Sumber arus listrik berasal dari rumah sebelah sana, yang disewakan Rp5.000 per hari kepada pelaku usaha ultra mikro di sekitar.
"Ada biaya sewa lapak?"
M. Soleh awalnya tampak ragu. Akhirnya ia menjawab ada, tetapi tidak mau menyebutkan nilai dan siapa yang mengutip.
"Preman?"
"Bukan. Pokoknya......., ada lah."
Pria berusia 58 tahun itu asli warga Bogor. Tinggalnya sekitar 1 km dari tempatnya mencari penghasilan.
Sudah 25 tahun ia menjalankan usaha pangkas rambut. Satu tahun terakhir di tempat sekarang, 23 tahun sebelumnya mangkal di jalan Ir. H. Juanda seberang Kebun Raya Bogor.
Di awal-awal kariernya Pak Soleh sempat bekerja sama dengan pemodal. Diberi peralatan, tempat, dan target penjualan.
Sekian tahun usaha bersama orang lain membuatnya tidak betah. Demi memupus tekanan kerja, kemudian M. Soleh memutuskan untuk mundur.
Career Switch. Dari bekerja di bawah perintah orang lain beralih ke usaha sendiri, yaitu pangkas rambut DPR sampai sekarang. Business hours berlangsung dari pukul 8 pagi hingga 5 sore.
Sebagai entrepreneur, M. Soleh tidak menentukan target muluk-muluk. Terpenting hasil usaha dapat menghidupi istri dan anak-anaknya.
***
Ternyata mengasyikkan berbincang dengan Pak Soleh. Tahu-tahu pangkas rambut level DPR telah selesai.
Kepala menjadi bersih dari uban, rapi, serta terasa segar, rapi. Rambut kepala dicukur habis. Mau putih atau hitam tak pandang bulu, eh, rambut.
"Berapa?"
"Berapa saja."
Dari sinilah kebingungan saya berawal.
Menurut pembaca, berapa ongkos yang pantas untuk jasa potong rambut di bawah pohon rindang (DPR)?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H