Dilarang Thrifting! Presiden RI Jokowi menekankan larangan impor pakaian bekas. Mudah-mudahan diikuti oleh pelaksanaan efektif di lapangan.
Harapannya, industri pakaian lokal lebih menggeliat tanpa saingan dari barang bekas hasil impor. Tentu dengan mutu baik, harga dapat diterima umum.
Ihwal penjualan pakaian bekas impor, apakah mengganggu industri domestik atau menjadi pesaing industri fesyen lokal, saya tidak kompeten mengulasnya.
Sebagai cermin bahasan, berikut sketsa gaya berpakaian saya berikut cara membeli menurut periodisasi.
Selang Waktu Mula
Sampai dengan remaja menggunakan baju pemberian orangtua. Terdiri dari pakaian: Â buatan tailor (penjahit) langganan, baru buatan lokal harga murah di toko, dan lungsuran.
Lungsuran adalah baju/celana (bukan celdam, ya) bekas dari bapak, kakak, atau kerabat yang layak pakai dan muat.
Tidak soal bila agak pudar. Kemeja putih yang sudah kusam bisa pakai blau. Benda padat warna biru yang dilarutkan dalam wadah, kemudian baju dicelup-celupkan. Setelah kering sempurna, hem tampak putih cemerlang kebiruan ketika tertimpa sinar matahari.
Juga tidak menjadi perkara ketika lepas jahitan, hilang kancing, atau rusak resleting. Toh Ibu bisa menjahitnya.
Semasa Kuliah
Selain dari orangtua, saya membeli baju kualitas ekspor sortiran pabrik dengan harga miring. Pakaian yang akan rejected bila dikirim ke pembeli di luar negeri.
Barang baru, tapi terdapat sedikit cacat. Misalnya ada setitik noda, kancing kurang satu, jahitan kurang rapi, dan sebagainya. Cacat sedikit yang sesungguhnya tidak terlalu kentara, kecuali dilihat secara saksama.