Pejabat itu gundah. Kariernya hancur. Akibat perilaku biadab anak lelakinya yang memukuli orang lain hingga koma.
Di langit biru. Sebuah bisik melayang-layang bersama awan. Menukik tajam menghantam gendang telinga.
"Sayang, bolehkah aku menemani susahmu?"
Rudolfo tersentak. Panik. Seketika ia mengembuskan jawab.
"Jangan! Aku segera menemui kamu."
Nama Rudolfo terseret badai kehebohan akibat kasus penganiayaan. Berkat bujuk rayu seorang gadis, anak lelakinya berhasil membuat seorang remaja masuk Instalasi Gawat Darurat. Koma.Â
Persoalan berkembang. Sebelum menghajar korban, Marjo Denpy petantang-petenteng dengan Jip Rudycon. Tidak hanya itu, anaknya ugal-ugalan di jalan raya menggunakan moge Hampir Dapitson.
Kemudian warga menguliti gaya hidup keluarga Rudolfo. Selain gaya hidup mewah anaknya, sang istri pun ternyata glamor. Sosialita super elite membungkus tubuh moleknya dengan uang ratusan juta terbitan baru.
Tidak hanya itu, warga yang kesal membongkar kekayaan Rudolfo. Meliputi tanah, istana, sawah, bukit-bukit, mobil-mobil mewah, emas intan berlian, dan harta bergerak lain yang seluruhnya mencapai angka puluhan milyar.
Menteri pun menilai, jumlah harta kekayaan maupun gaya hidup bermewah-mewah itu tidak masuk akal, dibanding penghasilan Rudolfo sebagai pejabat eselon tiga.
Babaran mengenai seluk-beluk harta, gaya hidup, dan sepak terjang Rudolfo sekeluarga bertaburan di media massa juga lini masa.
Rudolfo dicopot dari jabatannya. Lalu pria berbadan subur itu mundur dari pekerjaan sebagai pegawai yang digaji oleh negara.
Itulah yang membuat hatinya gundah. Ia tidak akan kehilangan harta miliaran, tetapi menghadapi kematian harga dirinya.
Wangi menghampiri. Tubuh gemerlap mencemaskan keadaan, "lalu, kita mesti bagaimana?"
"Diam di rumah. Jangan dulu menghadiri arisan di Singapura atau membeli kaos kaki, celana dalam, dan gaun di Paris. Jangan dulu. Kita tiarap."
Bibir merah Vinny, istri Rudolfo, merekah. Indah. Memberi kesempatan kepada seekor lalat berikut anak-anaknya untuk sekadar healing, di rongga yang sudah lama mereka impikan.
Lanjut Rudolfo, "kalau mamah hendak bepergian, belilah LGCC* sebagai pengganti sedan mewah. Papah baru saja menelepon showroom agar segera mengirim mobil sejuta umat "
"Papah mau ke mana? Mamah ikut dong!"
"Aku ingin sendiri. Menenangkan diri beberapa hari di satu tempat. Menjauhi kegaduhan."
***
Setelah membayar tunai, Rudolfo mencopot plastik pembungkus bekleding dan jok. Kini mobil keluarga berwarna hitam dengan kaca gelap itu siap berangkat.
Tidak pakai sopir. Rudolfo menyetir sendiri menyusuri jalan tol. Dua setengah jam kemudian ia tiba di daerah hijau berhawa sejuk.
Memasuki halaman luas. Sebagian berupa hamparan rumput dipangkas rapi. Di beberapa titik ditanam pohon -di antaranya- durian, rambutan, mangga. Tanaman hias dan perdu mengisi lahan di dekat rumah kecil bergaya country.
Sejenak Rudolfo menikmati firdaus itu dan merasa bersalah. Cukup lama ia tidak menemuinya di sebuah persil yang tak tercatat di LHKPN**, maupun pada penglihatan Vinny.
Di anak tangga, seorang dengan dandanan bersahaja menyambut kedatangan Rudolfo. Melempar senyum tulus dan menyambar tas berisi pakaian.
"Jangan...!!! Berat."
"Enggak. Bukankah engkau lebih capek, cintaku?"
Rudolfo memandang penuh kasih kepada wanita yang berparas elok tidak pernah membosankan. Dari belakang ia menikmati keindahan ciptaan Tuhan itu.
Jauh lebih indah daripada Vinny, batin Rudolfo.
"Aku sudah menyiapkan handuk bersih untukmu. Setelah itu kita makan malam."
Ah, satu lagi. Kehangatan yang lama tidak ia rasakan. Sering kali Rudolfo makan malam di restoran mewah. Hidangan di rumah Jakarta terasa hambar dan sepi.
Usai menyantap makanan yang luar biasa enak, mereka bercakap-cakap.
"Maksudku ke sini hendak curhat. Di sana, siapa mau mendengarkan?"
Jari telunjuk wanita yang berparas elok tidak pernah membosankan itu menyentuh bibir Rudolfo.
"Ssttt...aku mengerti."
Tiba-tiba mengalir kehangatan di dada Rudolfo. Sebuah dorongan purba memegang jemari lentik. Mengecup dahi warna pualam. Mencium lembut dua mata terpejam. Memagut bibir tipis tanpa pulasan.
Malam itu Rudolfo menumpahkan gelisah terbenam selama beberapa purnama. Maret menampung gelombang rindu dengan Gelora Asmara. Peluh membanjiri.
Rudolfo menemui kehangatan Maret yang berparas elok tidak pernah membosankan. Lama ia mendekap kehangatan menggelora itu. Love you, Maret.
)* LGCC, Low Cost Green Car adalah mobil kecil harga murah dan ramah lingkungan.
)** LHKPN singkatan dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H