Setelah membayar tunai, Rudolfo mencopot plastik pembungkus bekleding dan jok. Kini mobil keluarga berwarna hitam dengan kaca gelap itu siap berangkat.
Tidak pakai sopir. Rudolfo menyetir sendiri menyusuri jalan tol. Dua setengah jam kemudian ia tiba di daerah hijau berhawa sejuk.
Memasuki halaman luas. Sebagian berupa hamparan rumput dipangkas rapi. Di beberapa titik ditanam pohon -di antaranya- durian, rambutan, mangga. Tanaman hias dan perdu mengisi lahan di dekat rumah kecil bergaya country.
Sejenak Rudolfo menikmati firdaus itu dan merasa bersalah. Cukup lama ia tidak menemuinya di sebuah persil yang tak tercatat di LHKPN**, maupun pada penglihatan Vinny.
Di anak tangga, seorang dengan dandanan bersahaja menyambut kedatangan Rudolfo. Melempar senyum tulus dan menyambar tas berisi pakaian.
"Jangan...!!! Berat."
"Enggak. Bukankah engkau lebih capek, cintaku?"
Rudolfo memandang penuh kasih kepada wanita yang berparas elok tidak pernah membosankan. Dari belakang ia menikmati keindahan ciptaan Tuhan itu.
Jauh lebih indah daripada Vinny, batin Rudolfo.
"Aku sudah menyiapkan handuk bersih untukmu. Setelah itu kita makan malam."
Ah, satu lagi. Kehangatan yang lama tidak ia rasakan. Sering kali Rudolfo makan malam di restoran mewah. Hidangan di rumah Jakarta terasa hambar dan sepi.