Selama periode sepuluh tahun terakhir, di kawasan Pasar Anyar saya menjumpai lebih dari satu warung kelontong 24 jam.
Juga di jalan menuju rumah Pak Hamzah Haz (wakil presiden RI periode 2001-2004). Juga di jalan Sukasari. Juga di Warung Jambu. Juga di banyak tempat lainnya.
Dan ternyata pada tahun-tahun belakangan kehidupan Kota Bogor berubah. Menggeliat nyaris dua puluh empat jam. Bisa jadi ketularan gaya Jakarta.
Selama itu pula warga sibuk berkegiatan di luar rumah sampai malam. Lalulintas hilir mudik tidak berhenti, meskipun sudah matahari tenggelam.
Toko-toko, pusat perbelanjaan, mal masih menampung kedatangan pengunjung entah sampai jam berapa. Pukul sembilan malam? Sepuluh?
Jalanan dan tempat nongkrong ramai sampai malam . Melampaui waktu magrib. Menembus azan isya. Kota yang berubah.
Bagaimana dengan warung kelontong 24 jam?
Kian banyak dan ada perubahan.
Sebagian berkembang menjadi tempat nongkrong sambil ngopi. Warung kelontong 24 jam tersebut tetap menyediakan kebutuhan sehari-hari, kendati barang tersedia berkurang.
Digantikan dagangan berupa “jamu” yang kerap disebut intisari, kolesom, ortu, dan sejenisnya. Dikemas dalam plastik, minuman tersebut berwarna cokelat muda dan mengandung alkohol.
Menikmatinya bisa dengan menambahkan bir yang tersedia di warung, lalu meminumnya di tempat ataupun take away.