Senja empat puluh tahun lalu. Warga kota sudah di rumah. Pukul 7 toko-toko memeluk malam. Namun sebuah warung kelontong buka 24 jam.
Pada tahun 1980-an Kota Bogor masih sepi. Menjelang magrib warga bergegas pulang. Menjelang isya, pedagang-pedagang di Jembatan Merah dan Pecinan menutup toko.
Kecuali malam Minggu, pada hari biasa di atas pukul delapan jalanan sudah sepi. Sedikit ramai di daerah Air Mancur. Bus Bogor-Jakarta menurunkan penumpang di depan landmark itu sebelum pulang ke poolnya.
Pukul setengah sembilan malam saya mengendarai sepeda motor di jalur protokol. Di tepi jalan Sudirman itu hanya terlihat satu kios penjual angin masih buka.
Dingin dan sepi banget!
Lha ngapain malem-malem keluar rumah?
Ke Pasar Anyar. Menuju sebuah warung 24 jam di luar bangunan pasar. Beli lilin. Listrik padam tidak jelas kapan akan nyala kembali.
Warung berukuran kira-kira 1,5x2 meter persegi itu menyediakan aneka kebutuhan. Dari mulai rokok, camilan, obat gosok, sabun, lilin, pulpen, sampai obat nyamuk. Lumayan komplit, kecuali beras dan sayuran ya.
Ada saja barang yang mendadak diperlukan ketika toko dan warung umumnya sudah tutup. Setahu saya, hanya itu warung kelontong buka 24 jam.
Jauh setelah itu baru saya mengerti, ada warung kelontong di daerah lain yang juga buka siang malam. Mungkin soal ruang jelajah saya kurang luas.