Pada satu proyek yang lokasinya jauh, seperti biasa saya menghadapi kerumunan warga yang meminta kompensasi. Ingin mencicipi kue proyek bernilai lumayan.
Gerombolan warga menyambangi basecamp. Serbuan membuat teman-teman pelaksana lainnya tunggang langgang. Saya sendirian menghadapi mereka.
Aspirasi warga diwakili oleh seorang pria berseragam loreng. Dengan menggelegar pria dari salah satu kesatuan di kabupaten Bogor itu menyampaikan tuntutan warga. Di belakangnya warga berteriak mengamini.
Saya sudah sampaikan bahwa proyek tersebut demi kepentingan masyarakat. Seyogianya tidak ada gangguan yang menghambat pelaksanaannya.
Seusai proyek dan jika memungkinkan, maka fasilitas umum di sekitar akan dibenahi. Namun belasan warga tersebut tetap ngotot minta mentahnya saja.
Yang saya mengerti, mereka tidak mewakili banyak warga, tapi akan menggunakan uang melulu untuk kepentingan kelompoknya.
Di tengah perdebatan panas tiba-tiba saya teringat sesuatu. Dari saku menarik telepon genggam. Menekan angka-angka.
Sambil mengeja name tag di dada tentara tersebut, saya bercakap akrab dengan lawan bicara di telepon.
"Maaf, akhir-akhir ini tidak bisa ikut main kartu. Oh ya mau tanya, pak Pieter mengenal pak Ali (nama samaran) dari kesatuan ******?"
"Kenapa? Ada masalah?" Berikan telepon kepadanya," seru pak Pieter dari seberang.
Kemudian saya hanya mendengar pak Ali berkata, "siap, Ndan. Siap, Ndan," seraya agak menyingkir.