Dibanding tempat lain, ia lebih menyukai berlama-lama menyantap sepiring pecel di tikungan sana. Tepat di sudut belokan ketiga dari tempat kosnya.
Di sana, di mana pohon trembesi dekat taman bunga-bunga memayungi gerobak dan tempat duduk. Hanya saja ketika awan hitam berkerumun, sang penjual akan menambahkan terpal demi melindungi pelanggan dari kemungkinan munculnya terpaan hujan.
Biasanya hujan turun sebelum sore ketika persediaan bahan-bahan pecel sudah habis. Hujan pagi sampai siang sangat jarang terjadi di kota kecil itu.
Duduk di sana adalah meresapi semilir angin dengan sinar matahari terhalang dedaunan, menikmati atmosfer disuguhkan, dan menyantap pecel di atas piring cokelat.
Bukan pecel ala Blitar atau Madiun atau menurut pemahaman orang-orang di Jawa Timur. Bukan pula seperti gado-gado dengan saus matang, sekalipun kadang-kadang sebagian pelanggan menyebutnya dengan nama gado-gado.
Pecel, atau gado-gado, versi di sana sausnya berupa kacang goreng dihaluskan bersama gula merah, garam, sedikit air asam yang kemudian diaduk dengan potongan lontong dan aneka sayur rebus.
Ia sangat menyukainya. Tepatnya, murah dan mudah ditelan dalam rangka meredam pergolakan di dalam lambung. Ditambah, ya itu tadi, kesejukan alam dan keindahan panorama.
Memuaskan pandangan adalah alasan utama. Membuatnya betah berada di tikungan sana. Berlama-lama seraya mewawancarai penjual.
Bertanya mengenai hasil penjualan dibanding uang telah dibelanjakan. Juga bersoal tentang bahan-bahan pembentuk pecel. Padahal jelas-jelas terlihat nyata tampah bambu berisi kubis, kacang panjang, bayam, irisan wortel, kecambah sudah direbus dan kotak plastik berisi tahu sutera digoreng di dekat cobek.