Berjualan di lokasi dilarang pun tidak gratis. Jika ingin tenang, para pedagang rela menyetor  sejumlah uang upeti. Bahasa teknisnya disebut: pungli!
Dengan itu orang-orang kecil itu bebas menempati lapak masing-masing sesuai pengaturan. Bukan menurut aturan resmi. Penjual ndeprok atau duduk di trotoar jembatan yang berjarak 300-500 meter dari Pasar Anyar Kota Bogor.
Beberapa tahun lalu, saya lupa, penghubung beton itu berkesan lebar. Bersih dari hamparan barang jualan. Seiring dengan penertiban pedagang kaki lima (PKL) di sekitar bangunan pasar. Saya duga, ratusan penjual tak berizin tergusur.
Aparat mendirikan tenda-tenda peleton di sekitar pasar, jembatan, dan di tempat biasanya PKL mangkal untuk berjaga-jaga. Saat itu pasar terlihat teratur dan rapi.
Pembeli leluasa berlalu lalang tanpa melangkahi penjual-penjual buah, kue, sayur, bumbu dapur, dan sebagainya. Ruang parkir sepeda motor dan mobil kembali lega.
Kemudian hujan dan panas secara bergantian memudarkan keganasan Bima Arya dalam menertibkan PKL di pasar-pasar. Tenda-tenda peleton sudah lama dibongkar. Geliat operasi gabungan tidak lagi terdengar, berganti dengan patroli truk aparat pramong praja. Itupun tidak sering.
Pedagang tanpa perkenan dari otoritas bebas menggelar dagangannya. Pasar sampai dengan radius 500 meter, atau lebih, meriah, sesak, dan ruwet kembali.
Kata sahibul hikayat: anget-anget tahi ayam! Operasi penertiban sesaat, sebagaimana pemberantasan judi yang marak setelah isu konsorsium 303 mengemuka.
Penertiban PKL hanya kebijakan populis. Bersifat insidentil. Tidak punya rancangan penataan jangka panjang. Ya sudahlah, lupakan itu semua.
Saya sempat heran, bagaimana PKL bisa menempati lapaknya tanpa digusur?