Ketika sinar matahari mulai menyorot tajam saya pun duduk di trotoar, berteduh di bawah selembar tenda. Menarik napas sejenak sambil ngobrol basa-basi dengan pedagang pisang.Â
Asyik membual tentang kenaikan harga dan menertawakan kesusahan yang tidak berkesudahan. Bagi sebagian orang kehidupan terasa semakin sulit.
Namun tidak bagi PKL berbadan subur itu. Ia hanya fokus kepada upaya dan doa untuk berdagang. Menghabiskan pisang lumut yang masih ada sekitar 20 sisir.Â
Seseorang lewat dan berkata, "pisang begini sulit laku. Saya borong deuh, semuanya 150 rebu!"
"Tiga ratus lima puluh. Tiga ratus, ambil!"
Tidak terjadi kesepakatan. Menurutnya, sang penawar adalah pedagang kecil juga yang ingin memperoleh barang dengan harga semurah-murahnya. Untuk dijual lagi.
Tidak ada business deal. Penjual pisang menunggu pembeli biasa demi mengembalikan modal dan mendapatkan keuntungan.
Harga normal satu sisir pisang ditawarkan Rp 30-35 ribu. Demi melancarkan perbincangan, saya membayar Rp 25 ribu untuk sisir dengan jumlah pisang paling banyak.
Selain modal pembelian pisang hijau di Sukabumi, ia pun menyewa lapak. Berjualan di trotoar ternyata tidak gratis.
Berapa ongkosnya? Bayar ke siapa? Sedangkan jembatan adalah fasilitas publik!