Setelah berjalan-jalan lumayan jauh, tiba saatnya beristirahat. Sebuah kedai yang tidak begitu ramai menarik perhatian.
Di papan tertulis menu nasi goreng telor (dadar/ceplok/orak-arik) dengan harga Rp 11 ribu. Ekstra pete/ati ampela menambah Rp 3000, ayam/bakso + Rp 4000, dan sosis + Rp 5000. Saya memesan nasi goreng dengan topping telur ceplok.Â
Hidangan tersaji. Nasi goreng berwarna pas dengan empat iris mentimun, telur ceplok, taburan bawang goreng, dan kerupuk. Penampilan simpel yang menarik untuk dicicipi.
Suapan pertama tidak mengagetkan. Dalam arti, tidak membuat lidah terperanjat dengan rasa yang "terlalu", misalnya kelewat pedas, terlampau asin, atau kebanyakan kecap manis. Tidak terasa ganjil ketika dikunyah. Pas bumbunya. Pas rasanya. Pas takarannya.
Nasi goreng dengan harga dan rasa wajar merupakan pilihan bagi berbagai orang. Ia cocok disantap saat sarapan atau menjadi kudapan di senja. Bahkan menjadikannya sebagai "camilan" larut malam, kendati sebelumnya sudah makan.
Ada beragam kisah di seputar nasi goreng. Pengalaman saya berkenaan dengan penganan populer ini adalah sebagai berikut:
Pertama Kali
Pertama membuat nasi goreng saat kelas 6 SD atau 1 SMP, saya lupa. Bumbunya sederhana, yaitu bawang merah dan putih, cabai merah, sedikit terasi matang. Semua diulek. Ditumis lalu ditambahkan nasi putih. Tanpa kecap. Tanpa telur, bakso, atau tambahan lainnya.
Dimakan beramai-ramai. Lumayan enak, kendati agak keasinan.
Eksperimen berikutnya lebih berani. Mengganti cabai merah dengan cabai rawit. Hasilnya? Nasi goreng putih agak kehijauan. Enak dan pedas.