Mengingat masih banyak orang-orang mengais sampah semacam wanita di atas, alangkah baiknya kita mulai mengindahkan kepentingan mereka. Caranya?
Belum jauh meninggalkan pagar rumah, seorang pedagang keliling menyalip. Pundaknya memikul kontainer transparan berisi kue. Tinggal separuh. Atau masih setengah?
Belum sempat kabel-kabel di dalam kepala sempat menyimpulkan sesuatu, alam bawah sadar menyuruh bibir bergerak.
"Kue ...!"
Mamang penjual membuka tutup, di dalam kotak plastik ada banyak donat dan onde-onde.
"Sekarang jualan tambah sepi. Jam segini baru laku setengahnya."
Satu donat topping krim gula, satu donat isi cokelat, dan satu onde-onde dibungkus. Sejenak melupakan saran dokter agar mengurangi makan penganan dari tepung terigu dan gorengan.
Entah dorongan dari mana saya membelinya. Barangkali sesekali makan gorengan tidak apa-apa. Moga-moga "sesekali" ini tidak tiap hari.
Melewati bak sampah sudah kosong, tampak seorang ibu sedang mengais-ngais bungkusan keresek baru dibuang warga. Saya sejenak berhenti demi mendengar celetukan.
"Tadi pagi sekali keburu diangkat truk sampah. Tumben."
Pemulung di bak sampah!
Biasanya wanita tersebut mendapatkan kardus, kertas, karton bekas nasi kotak, botol dan gelas minuman kemasan, plastik tebal.
Bukan sebangsa besi, aluminium tembaga, dan barang elektronik rusak. Warga menjual sampah berharga itu ke tukang rongsokan keliling menggunakan gerobak. Lumayan untuk membeli beras.
Dalam sehari wanita itu mengumpulkan kardus dan plastik bekas sebanyak 4 hingga 5 kantong keresek besar. Pengepul datang ke rumahnya untuk menjemput sampah yang telah dipilah.
Berapa harganya?
Menurut penuturan, sampah terpilih dihargai Rp1500-2000 per-kilogram, tergantung jenis. Normalnya, dalam 5-6 hari wanita itu bisa mengumpulkan uang Rp50000-60000. Sepuluh ribu per-hari!
Berapa uang jajan kita dalam sehari?
Setidaknya dari sampah terbuang ada uang bagi mereka yang giat bergelut dengan uap bacin bak sampah.
Umumnya orang membuang sampah tanpa memisahkan antara limbah anorganik (bahan non hayati yang sulit diurai) dengan sampah organik (bahan hayati yang mudah didegradasi oleh mikroba). Antara sisa potongan sayur, ikan, dan barang mudah busuk lainnya dengan bekas kemasan.
Semua ditumpuk menjadi satu, berkumpul di dalam bak beton. Berada di dekatnya dijamin mengindra bau tak sedap. Apalagi berkutat di dalamnya.
Maka dari itu, mengingat masih banyak orang-orang mengais sampah semacam wanita di atas, alangkah baiknya kita mulai mengindahkan kepentingan mereka. Caranya?
- Memilih dan memilah sampah dari rumah dengan menyediakan tempat sampah organik dan anorganik.
- Sampah organik dapat diolah menjadi biogas. Cara lebih rumit, diubah menjadi pupuk organik cair dan biogas.
- Memisahkan sampah anorganik dari pecahan beling (bisa melukai), logam (boleh dijual), dan limbah berbahaya.
Paling tidak tiga langkah sederhana dan mudah di atas dapat dilakukan sekarang. Tidak usah muluk-muluk memikirkan persoalan sampah yang menggunung.
Segera investasikan dana membeli dua macam tempat penampung sampah: organik dan anorganik. Lalu memilih dan memilah sampah.
Dengan itu kita membuat para pemulung tidak berlama-lama berada di dalam bak sampah. Memudahkan sesama manusia untuk mencari rezeki yang berkah.
Bukan mencari kekayaan cara Karomani)* dan para koruptor.
Akhirnya, donat dan onde-onde tadi dibeli tidak jadi dimakan. Saya serahkan semua kepada wanita bersahaja di bak sampah. Beliau lebih berhak atas kue tersebut.
)* Rektor Unila yang ditetapkan sebagai tersangka kasus suap oleh KPK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H