Obrolan tentang Ferdy Sambo yang bukan Rambo itu mengalir di warung kopi. Setelah dua orang berambut cepak duduk di hadapan melontarkan ice breaking.
Pada hari Jumat pagi kemarin saya memfotokopi berkas kartu kendali dan hasil laboratorium, terkait pengambilan obat yang ditanggung BPJS Kesehatan pada bulan berikutnya. Tiap bulan mesti menyertakan salinan kartu kendali dan hasil laboratorium (kalau ada).
Padahal sudah berada di era perkembangan digital. Tinggal entri data, semua keterangan dapat dibaca di komputer.
Di sebelah kanan tempat fotokopi terletak warung menjual berbagai barang kebutuhan sehari-hari, aneka minuman (termasuk kopi seduh), dan penganan. Di halaman depan tersedia meja panjang, di kiri-kanannya terletak 4 kursi kayu. Suasananya tampak menyenangkan.
Maka dari itu, selain fotokopi berkas, saya membeli sebotol air minum ukuran tanggung, satu buras isi oncom, dan satu buras isi kentang. Demikian supaya bisa duduk berlama-lama. Mumpung jadwal Jumatan masih jauh.
"Sekelas jenderal tidak pakai ini," celetuk seseorang, mengetuk kepalanya berkali-kali dengan ujung telunjuk.
Pria berbadan tegap itu melanjutkan, bukan satu hal sulit untuk menyingkirkan bawahan. Dengan menggunakan kekuasaan, mutasikan saja yang bersangkutan ke daerah paling terpencil seterpencil-pencilnya.
'Selesaikan' dalam hutan belantara. Kirim jenazah dalam peti kayu terbaik. Beri penjelasan kepada keluarga bahwa almarhum adalah ksatria sejati yang telah melawan pemberontak bersenjata.Â
Cerita berakhir. The End. Tidak perlu ribut-ribut. Tidak butuh skenario berjilid-jilid.
Obrolan berlanjut. Analisis khas warung kopi tentang motif pembunuhan, dari mulai soal asmara hingga perkara ruwet berhubungan dengan uang bernilai fantastis.Â